Di tengah kekhawatiran target pemasukan Rp 165 triliun sulit tercapai dalam program pengampunan pajak (tax amnesty), sikap optimisme tetap harus dibangun. Selain waktu masih tersisa 7 bulan, masih banyak langkah yang bisa dilakukan agar program ini kembali ke jalan yang benar. Pengusaha telah memberi sinyal positif, namun peran pejabat negara juga diperlukan agar program ini lebih menarik untuk diikuti.
Soal pejabat negara ini memang ada beberapa pendapat. Wapres Jusuf Kalla misalnya menilai tak perlu menunjukkan ada contoh pejabat ikut pengampunan pajak. Alasannya data peserta program ini bersifat rahasia sehingga tak bisa dibuka untuk umum. Terkecuali jika yang bersangkutan mengatakan sendiri. Namun, dari kalangan DPR dan juga masyarakat sempat terlontar harapan agar pejabat juga ikut memberi contoh sehingga membuat program ini lebih familier.
Tulisan ini mencoba memahami persoalan program pengampunan pajak dari kacamata umum, tanpa tabel data atau rincian teknis. Karena cukup panjang, mungkin kompasianer bisa nyambi nyruput kopi atau teh, atau makan kuaci. Kalau ngantuk, ya ditinggal tidur saja, dan kalau sempat ya nanti dibaca lagi.
.......
Pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diwarnai ketidakjelasan sasaran, sehingga menimbulkan gejolak dan penolakan di masyarakat, mengindikasikan belum adanya pemahaman yang benar atas program ini. Sementara itu harta para konglomerat besar juga tak kunjung datang, sehingga timbul kesan program ini telah menyasar kelompok ekonomi yang salah.
Perlukah ada perpanjangan waktu agar program ini tersosialisasi dengan baik, dan aparat pajak paham benar sasaran dan tujuan program ini? Pertanyaan ini perlu jadi pertimbangan pemerintah agar program pengampunan pajak berjalan tepat sasaran walaupun diterpa pesimisme karena target uang tebusan Rp 165 triliun yang dinilai terlalu tinggi.
Belum adanya pemahaman atas tujuan dan sasaran dan tujuan program ini, menyebabkan antara lain menjadikan petani, pensiunan, penerima warisan yang menganggur dan tak punya penghasilan, sebagai objek pengampunan pajak oleh petugas pajak. Pemahaman yang keliru juga menjadikan program ini seolah sebagai kewajiban padahal sebenarnya merupakan pilihan yang bisa diambil atau tidak.
Ketidakjelasan program ini juga seolah melupakan niatan awal program ini adalah untuk menarik dana ribuan triliun milik WNI yang diparkir di luar negeri, yang tak dilaporkan ke negara. Kepada mereka ditawarkan pengampunan, dengan deklarasi dan repratiasi harta kekayaan dengan membayar uang tebusan.
Memang program ini juga berlaku pada harta WNI yang berada di dalam negeri. Namun jelas, tidak pernah ada terlontar pernyataan yang menyebut harta itu milik warga kecil sekelas pensiunan, petani, nelayan, atau penerima warisan yang menganggur. Jika kini muncul masalah seperti itu tentu menunjukkan ada yang tak benar dalam pelaksanaan program ini.
Banyak pendapat telah diutarakan terkait persoalan ini yang intinya mempertanyakan pemahaman petugas pajak atas sasaran dan tujuan program ini. Selain itu, waktu yang mepet antara saat disahkannya program ini dan pelaksanaannya tidak memberikan waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi program ini, tak hanya ke masyarakat namun juga ke petugas yang mengeksekusi program ini.
Fuad Bawazier pada acara Indonesia Lawyer Club, Selasa (30/8/2016) malam, menyatakan agar program pengampunan pajak berjalan dengan baik, diperlukan perpanjangan waktu setidaknya tiga bulan. Waktu itu diperlukan untuk sosialisasi ke masyarakat.