Lihat ke Halaman Asli

mohammad mustain

TERVERIFIKASI

Arcandra, Friksi, dan Masalah di Istana

Diperbarui: 15 Agustus 2016   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar saat perbincangan dengan media, di kantornya, Jakarta, Jumat (29/7/2016). (Kompas.com/ Estu Suryowati)

Diakui atau tidak, merebaknya berita kewarganegaraan ganda Menteri ESDM Arcandra Tahar menunjukkan ada masalah validitas data yang masuk ke Presiden. Tidak tegasnya jawaban pemerintah terkait kebenaran kabar itu menunjukkan ketidaksiapan data yang seharusnya sudah tersedia sejak awal. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab atas data penting itu.

Munculnya kasus Arcandra ini juga mengesankan adanya masalah yang belum usai paska reshuffle jild II. Tarik-menarik kepentingan di sektor bisnis energi dan pertambangan sangat kental yang menyebut nama-nama beken di sekeliling Jokowi. Pertanyaannya, siapa penyebar berita kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar lewat WhatsApp dan apa target yang hendak dicapai?

Munculnya kasus ini juga memunculkan kembali perdebatan etis antara hukum sebagai panglima dan acuan utama kehidupan berbangsa dan bernegara dan pengesampingan hukum dalam kasus tertentu, demi kepentingan bangsa dan negara. Arcandra Tahar jikalaupun terbukti benar pernah menjadi warga AS, bisa masuk pengecualian hukum karena negara membutuhkan kiprah dan pengabdiannya. Pertanyaannya adakah upaya hukum yang pernah diajukan untuk pengkhususan ini.

Tiga hal itu menjadikan kabar kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar dengan cepat menyedot banyak perhatian dan mengundang perdebatan. Ini memang masalah hukum yang sangat politis dan menyasar isu sensitif di dunia pertambangan dan energi, yang pernah melahirkan skandal "Papa Minta Saham" dan menimbulkan kubu-kubuan di lingkungan dekat presiden.

Pasokan Data untuk Presiden

Sebagai kepala negara, presiden harus memperoleh pasokan data yang valid untuk banyak hal, mulai ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, hingga hal-hal strategis lain, baik menyangkut kepentingan domestik maupun internasional. Tujuh puluh satu tahun merdeka, sistem pasokan data untuk presiden ini seharusnya sudah tertata rapi dan efisien dengan validitas data yang akurat.

Adanya sistem pasokan data ini seharusnya tidak terganggu oleh pergantian rezim pemerintah. Ada prosedur baku yang harus dilaksanakan, siapa pun presiden yang menjabat. Tak terkecuali untuk urusan yang penting semacam pengangkatan menteri yang menjadi hak prerogratif presiden dan melibatkan kalangan terbatas, pasokan data untuk presiden terkait kandidat yang akan diangkat, diminta atau tidak harus masuk ke presiden.

Hak prerogratif presiden tidak bisa membatalkan hak negara untuk memperoleh pejabat yang tak cacat secara hukum dan membahayakan negara. Sistem ini seharusnya sudah baku, walaupun beredar di kalangan terbatas, nama menteri yang akan diangkat seharusnya juga masuk dalam sistem data ini. BIN seharusnya jadi bagian motor utama sistem ini.

Dalam kasus Arcandra Tahar, BIN sebagaimana diungkapkan ketuanya Sutyoso, sedang mendalami kasus. Sebelumnya BIN tidak pernah dimintai clearance nama-nama menteri oleh presiden. Pernyataan ini mengejutkan karena BIN seharusnya sudah mengetahui nama-nama yang akan diangkat sebagai menteri oleh presiden dan tentunya sudah pula melakukan pendalaman. Jika menemukan hal yang berpotensi membahayakan negara, misal saja calon menteri ternyata menjadi agen negara asing, tentu diminta atau tidak harus melaporkan temuan itu ke presiden.

Dalam kasus Arcandra, jika memang benar berkewarganegaraan ganda, tentu harus dilaporkan ke presiden. Karena selain melanggar hukum, hal itu jelas berpotensi menimbulkan loyalitas ganda yang bisa merugikan Indonesia dalam banyak hal. Pernyataan Sutyoso itu menggambarkan secara nyata adanya masalah dalam sistem pasokan data untuk presiden.

Lamanya klarifikasi pemerintah, yang kemudian dilakukan Mensesneg Pratikno namun tak lengkap itu, menunjukkan ketidaksiapan pemerintah atas kasus ini karena tak adanya pasokan data yang cukup. Namun, sah saja kalau ada yang berpendapat kalau pemerintah sudah tahu namun tak menyangka akan bocor. Namun, pendapat terasa naif dan seolah menuduh pemerintah sengaja membohongi rakyat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline