Saat dokumen Panama Papers dibuka pertama kali awal April lalu, kehadirannya digambarkan bak badai yang akan menimbulkan prahara bagi siapa saja yang namanya disebut di sana. Ada benarnya juga gambaran itu bagi beberapa negara, yang berakibat mundurnya perdana menteri, menteri perindustrian, pejabat senior FIFA, dan beragam aksi pemerintah di luar sana. Tapi di Indonesia, tak ada badai itu.
Memang sih, ada beberapa pejabat seperti Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Ketua BPK Hary Azhar Azis yang terkena angin panasnya. Ada juga pengusaha Sandiaga Uno yang kini maju jadi cawagub tapi belum ada yang mengusung itu, ada legislator Airlangga Hartarto yang kini maju jadi caketum Golkar. Ada juga Johnny Gerald Plate dari Nasdem sohib Reza Chalid itu.
Di jajaran pengusaha kakap, ada nama Choirul Tandjung, James Riyadi dan John Riyadi, Fransiscus Welirang, Hashim Djoyohadikusumo, Hilmi Panigoro. Daftar ini masih akan bertambah panjang, silakan lihat sendir di situs International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ). Di sana pasti juga ditemukan nama Reza Chalid, Djoko S Tjandra yang kini buron itu.
Secara umum reaksi yang ada di Indonesia adalah, yang namanya tercantum di dokumen itu membantah, membenarkan, atau diam saja. Marah-marah atau ngeles, itu juga diperlihatkan. Tapi, semua kompak menyatakan tak ada yang salah dengan kepemilikan perusahaan cangkang itu, dengan alasan strategi bisnis, atau sejak didirikan tak ada aktivitas atau nol transaksi. Jadi, dianggap clear.
Kita ambil contoh Ketua BPK Hary Azhar Azis yang paling mendapat sorotan bahkan ada petisi yang memintanya mundur, hingga kini tak bergeming dari jabatannya di BPK. Padahal secara etika dia melakukan tiga pelanggaran: pertama, punya perusahaan cangkang Sheng Yue International Limited tapi tak dilaporkan; kedua, memakai alamat DPR sebagai alamat pemegang saham; ketiga, kewajiban menyerahkan LHKPN yang tak dijalankan sejak 2010.
Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan lain lagi. Dia merasa tak pernah punya perusahaan cangkang yang bernama Mayfair International Ltd, yang berada di negara Seychelles, nun jauh di tengah Samudra Hindia, 1.600 km dari daratan Afrika itu. Terakhir dia menyatakan akan menyewa pengacara terkait persoalan itu. Dia tak rela namanya tercoreng Mayfair International Ltd yang tak dikenalnya itu. Entah, bagaimana kabarnya kini.
Contohnya cukup dua itu saja. Apa yang bisa tangkap dari contoh itu adalah, terlalu berlebihan jika kita berharap akan ada tindakan penyesalan atau permintaan maaf, atau sukarela mengundurkan diri akibat namanya tercantum di dokumen Panama Papers. Kalau di luar negeri mungkin saja, dan itu sudah dilakukan perdana menteri Finlandia, menteri perindustrian Spanyol, atau pejabat senior FIFA.
Bagaimana sikap pemerintah terhadap dokumen Panama Papers? Sikapnya jelas, pemerintah akan mengaitkan dokumen itu dengan kebijakan tax amnesty yang segera diberlakukan. Artinya, kalau ada yang namanya masuk di Panama Papers dilihat dulu kewajiban membayar pajaknya. Kalau belum taat, ya dibuat taat, ditawari tax amnesty. Selesai.
Tapi tunggu dulu. Memang dari 100 persen dana milik orang Indonesia yang parkir di negara-negara surga pajak, yang 60 persen murni uang hasil bisnis biasa, 10 persen korupsi, dan sisanya itu dari kejahatan perdagangan manusia, narkoba, dan pencucian uang. Nah, yang terakhir ini jelas, tak masuk objek tax amnesty. Namun, yang sepuluh persen yang katanya dari uang korupsi itu bisa masuk tax amnesty.
Nah, dokumen Panama Papers yang memuat nama-nama perusahaan dan pemiliknya itu, termasuk yang dari Indonesia, memiliki tingkat kerahasiaan tinggi. Ini berarti potensi pelarian uang hasil korupsi ke sana sangat besar. Masalahnya, apa pemerintah punya perhatian terhadap hal itu, selain terkait tax amnesti untuk menarik dana itu pulang?
Oleh karena itulah, untuk sementara ini, sebaiknya memang tak perlu berharap lebih atas dokumen Panama Papers itu. Dokumen itu sebenarnya hanya menjadi pelengkap data yang sudah dipegang pemerintah sebelumnya, yang berisi nama-nama pengemplang pajak yang memarkir dananya di luar negeri. Tapi, ya tak apa sih berharap lebih. Misalnya saja, ada kejutan ada pejabat yang tiba-tiba menyatakan mundur (wong sekedar harapan saja).