Lihat ke Halaman Asli

Novran Sulisno

I'm Teacher

APBN 2014: Makin Kapitalis, Makin Membebani

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Al-Islam edisi 680 ( 11 Muharram 1435 H-15 November 2013 M)

DPR telah menetapkan APBN 2014. Anggaran belanja APBN ditetapkan sebesar Rp. 1.842,49 triliun, dengan komposisi Belanja Pemerintah Pusat Rp. 1.249,94 triliun (70 %) dan alokasi untuk Pemerintah Daerah Rp. 529,55 triliun (30%). Defisit anggaran dalam postur APBN ditetapkan 1,69 persen dari PDB atau sekitar Rp. 175,3 triliun.

Rencana penerimaan negara dan hibah ditetapkan sebesar Rp. 1.667,14 triliun terdiri dari Pendapatan Pajak Rp. 1.280,39 triliun, Pendapatan Bukan Pajak Rp. 385,39 triliun dan hibah Rp. 1,36 triliun. Sementara defisit Rp. 175,35 triliun akan ditutupi dengan utang.

Penerimaan di APBN 2014 ditetapkan naik 11% dari APBNP 2013, dari Rp. 1.502 triliun menjadi Rp. 1.667,14. Sisi pengeluaran juga naik 6,7% dari Rp. 1.726,2 triliun menjadi Rp. 1.842,49.

Walaupun APBN terus meningkat tiap tahun, PDB juga naik pesat, perekonomian tumbuh tiap tahun, pendapatan per kapita juga naik tiap tahun, tapi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Jumlah rakyat miskin juga nyaris tidak berkurang. Ini mengindikasikan ada kesalahan besar dalam APBN sehingga APBN yang sebagian besar penerimaannya berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat tapi tidak memberikan kontribusi nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Bertumpu pada Utang

Kesalahan mendasar yang terus terjadi adalah penyusuan APBN dilakukan bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam konteks APBN, kekeliruan Paradigma tercermin dalam 2 hal yaitu; Pertama, dianutnya Konsep Anggaran Berimbang atau Defisit; dan kedua, Liberalisasi Ekonomi.

Dalam konsep anggaran berimbang atau anggaran defisit, utang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara) katanya diperlukan untuk membangun perekonomian. Utang luar negeri dari negara dan lembaga donor selama ini terbukti dijadikan alat ampuh mendekte kebijakan dan ampuh dijadikan alat penjajahan. Utang LN negeri ini lebih banyak menguntungkan negara-negara pemberi utang. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (a) adanya net transfer dimana yang masuk lebih kecil dibandingkan dengan yang keluar; (b) kebijakan didekte oleh negara dan lembaga donor.

Fakta selama ini, sebenarnya utang luar negeri itu merupakan skenario penjajahan modern menggantikan penjajahan fisik. Caranya, utang LN itu dijadikan alat untuk mendekte kebijakan terutama politik dan ekonomi. Seringkali, syarat pencairan utang jika kebijakan, peraturan bahkan hingga UU harus diubah atau disesuaikan dengan saran (baca perintah) asing, diantaranya kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalistik seperti pencabutan subsidi dan kepentingan politik lainnya.

Paradigma terus berutang itu telah membuat negeri ini masuk dalam perangkap utang yang sangat sulit (mustahil) untuk dibayar. Total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp 2.274 triliun, terdiri dari Rp 684 triliun berupa pinjaman LN dan Rp 1.590 triliun berupa surat berharga negara (SBN). Artinya 240 juta rakyat negeri ini termasuk bayi yang baru lahir, tiap orang terbebani utang Rp 9,475 juta.

Utang yang terus menggunung itu membebani negara dengan pembayaran cicilan bungan dan pokok. Menurut data Kementerian Keuangan (28/10/2013), cicilan utang oleh pemerintah baik pokok atau bunganya selama 9 bulan di 2013 ini saja mencapai Rp 201,9 triliun (cicilan pokok Rp 118,7 triliun dan cicilan bunga Rp 83,2 triliun) atau 67,37% dari target tahun ini. Rencana cicilan pokok dan bunga utang 2013 sebesar Rp 299,708 triliun (cicilan pokok Rp 186, 5 dan cicilan bunga Rp 113,2 triliun) atau 17,3 % dari belanja APBN-P 2013. Sementara Untuk tahun 2014, pembayaran bunga utang saja ditetapkan Rp 121 triliun. Itu masih ditambah cicilan pokok diatas 100 triliun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline