[Al-Islam edisi 698, 19 Jumadul Awal 1435 H - 21 Maret 2014 M]
Hiruk pikuk kampanye selama ini, khususnya seminggu terakhir, hanyalah bagian dari proses mengimplementasikan demokrasi. Dalam menyikapinya, tentu kita harus mengikuti pandangan Islam tentangnya.
Demokrasi pada dasarnya memiliki dua doktrin dasar yaitu kedaulatan milik rakyat dan kekuasaan milik rakyat. Tanpa keduanya, tidak ada yang namanya demokrasi. Doktrin kedaulatan rakyat menjadi doktrin mendasar.
Hakikat Kedaulatan
Kedaulatan pada dasarnya merupakan kekuasaan mengelola dan mengendalikan kehendak (al-mumârisu wa al-musayyiru li al-irâdah). Itu maknanya adalah menentukan sikap atas perbuatan, apakah dilakukan atau ditinggalkan, dan atas sesuatu termasuk benda apakah diambil/dipakai atau tidak.
Dalam konteks kenegaraan, artinya adalah pembuatan hukum dan perundang-undangan. Abbas al-‘Aqad dalam ad-dîmuqrâthiyah fî al-Islâm menjelaskan, kedaulatanadalah sandaran hukum, yaitu sumber yang menghasilkan undang-undang, atau pemimpin yang memiliki hak ditaati dan harus beramal sesuai perintahnya.
Jadi kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang bersifat absolut, mutlak, yang memiliki hak mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu (benda). Pemilik kedaulatan adalah pihak yang memiliki hak membuat hukum itu. Para ulama dan fuqaha telah membahasnya sejak awal Islam dengan istilah al-Hâkim. Yaitu man lahu haqqu ishdâri al-hukmi ‘alâ al-af’âli wa al-asyyâ` -pihak yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu.
Demokrasi – Kedaulatan Rakyat
Doktrin dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Ide ini diawali oleh Rousseau. Ide kedaulatan rakyat itu dilembagakan dalam sistem politik Demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan adalah milik rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat hukum, aturan dan sistem untuk mereka sendiri, dan rakyat pula yang berhak mengangkat seseorang sebagai penguasa untuk mengimplementasikan hukum, aturan dan sistem itu atas mereka. Konsep ini riilnya dilaksanakan melalui konsep perwakilan, di mana rakyat memilih wakilnya untuk duduk di parlemen dan diberi kekuasaan legislatif untuk membuat UU.
Konsep kedaulatan rakyat ini senyatanya ilusif dan berbahaya bagi rakyat sendiri. Ilusif sebab rakyat beranggapan, dan dimanipulasi supaya tetap beranggapan, kedaulatan milik mereka. Faktanya kedaulatan ada di tangan para anggota parlemen. Kedaulatan rakyat disederhanakan begitu rupa menjadi sekadar kedaulatan parlemen atau kedaulatan anggota parlemen. Sebab, merekalah yang riilnya menetapkan UU dan hukum, bukan rakyat.