Malam ini Ada BBM (BlackBerry Messenger)dari sahabat saya tentang Tuha Ro Lanti Prosesi penobatan H. Feri Zulkarnaen, ST. sebagai sultan (Raja) Bima ke 16, pandangan saudara bagaimana..???, kira-kira seperti itu Bunyinya;
Putra Mahkota yang besok dilantik Menjadi Raja Oleh Majelis adat Bima
Bagi saya ini pernyataan tidak menarik dan juga tidak mudah dikomentar , karena saya bukanlah pemangku adat, pengamat sejarah atau pengamat budaya namun sedikit saya mencoba memberikan pandangan sebagai anak muda yang berada ditengah-tengah sejarah
Penobatan Jena Teke (Putra Mahkotah) Menjadi Sultan (Raja) Bima merupakan Prosesi Budaya yang "syah-syah”, tetapi harus ingat...!!!, penobatan ini jangan sampai dijadikan alat legitimasi kekuasaan dan membangun aritokrasi birokrasi diera demokrasi. Dengan menghabiskan APBD Kabupaten Bima kurang lebih Rp. 600 juta, tidak bisa menjamin kita melangkah untuk membuka jalan kearah penguatan identitas “Dana Mbojo, Tanah Bima” yg sesungguhnya, yaitu "islam, hanif dan penuh muatan kemanusiaan". Jangan sampai kita terperangkap mitos sehingga kita terpenjara oleh perilaku animis agama pra islam yang dianut manusia bima kuno serta mengukuhkan anggapan bahwa para raja bima adalah dewa yg menjelma menjadi manusia sehingga fakta akan wajah buruk feodalisme tetap eksis diera moderen ini.
Disamping itu “Jenateke, (Putra Mahkota)” paling tidak harus faham legenda yg dibuat seputar dirinya “ede mpara nahu, sura dou labo dana, tidak perlu saya, yang penting rakyat dan negeriku”., jangan hanya bersandar pada mitos yang gagal memperkuat identitas Dana Mbojo akan tetapi berlandaskan pada sumber kekuatan dan kemampuan secara ilmu pengetahuan diera teknologi untuk mengelola semua itu.
Saat problem ditengah masyarakat, baik problem moral, konflik komunal, portitusi terselubung, Judi togel yang sudah merambat sampai dipelosok serta potret buram wajah-wajah bima saat ini menjadi PR kita bersama. Prioritas yg harus dikukuhkan adalah Sejatinya Generasi Bima terus dibatinkan dengan nilai-nilai, bukan sebuah mitos yang membuat generasi sedikit tersesat. Kenyataan yang kita rasakan di bima adalah munculnya kecenderungan setiap lompatan dalam politik, bima selalu tertawan oleh masa lalu, dan kitapun tidak pernah melampuinya. Sekalipun generasi bima banyak yang bertalenta namun belum berani melangkah untuk merebut bolah sejarah untuk membangun sebuah peradaban yang mampu membawa kedamaian yang berlandaskan pada nilai-nilai islam.
Harus kita akui, momentum sekarang paling menentang pengukuhan kembali islam dibima. Dakwa islam yang telah tebukti gagal membendung perilaku bid’ah, tahayul dan kurafat. Atmosfir islam yang begitu hebat terlihat dikulit luarnya, upaya jilbanisasi, membumikan Alqur’an dan maraknya pembangunan tempat-tempat ibadah ternyata tidak mampu mematikan perilaku lama yang penuh jurang kemusrikan, dan yang perlu dirumuskan pada jaman edan ini adalah strategi baru dakwa untuk memperkuat umat.
Kita mesti berpijak pada fakta empiris bahwa islam adalah idiologi empiris yang bisa dijadikan etos kerja masyarakat Bima yang menghasilkan perubahan sehingga melahirkan masyarakat yang menurut Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an adalah “Knowledge Society”.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan masyarakat bima, bukan sebagai jargon yang yang dilafalkan. Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan masyarakat Bima disaat budaya yang terus terbayang oleh mitos para dewa.
Dalam sebuah buku yg pernah saya baca bahwa sultan M. Salahuddin melakukan sesuatu tindakan dan meletakan pengaruhnya bersumber pada ilmu sebagai sumber penguat kedudukan, paling tidak itu harus dijadikan contoh oleh calon sultan ke 16 yg tanggal 4 Juli besok di nobatkan menjadi sultan (raja) bima, sehingga menjadi cermin positif generasi bima kearah yang lebih baik lagi.
Keberhasilan kepemimpinan dari kekuasaan seorang raja terukur dari kesejahteraan bagi daerah keberanian bersikap adil terhadap semua lapisan masyarakat, baik terhadap rakyat maupun pejabat, bahkan keluarga sendiri. Keberanian dalam membela kebenaran atau berpijak pada aturan, tanpa pandang bulu Ede Ompo Madese Ro Ntasa (itu baru anda punya derajat dan harga diri), sudahkan calon raja kita memiliki jiwa kesatria seperti itu.???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H