Diwarung kopi pojok desa, dengan penerangan lampu kecil. Seakan menjadi surga abadi bagi sang sunyi.
Kepulan asap rokok melayang disela-sela bibir Paidi. Dicercapnya secangkir kopi hitam, seakan menikmati manis dari pahit kehidupan.
"Di...di... kok gayeng tenan ngombe kopine?" Sapa Harno sambil menghampiri.
"Aku lagi kangen No." Jawab Paidi.
"Mbok Yah, kopi siji yo, gulane sitik wae." Pesan Harno.
"Kangen sopo to No? anakmu?".
"Ora, kangen karo mbah Sadikin kepala desa adat bien."
"Loh!! Kok iso, dadi pendekar pedang we sak iki? Ileng wes umur seket No." Sahut Harno dengan tawa.
"Lambemu No, ijek lelanange jagat iki."
"Tenane Di ? Mengko lagi digoyang wes ampun-ampun." Sahut mbok Yah sambil menyodorkan kopi kepada Harno.
Suara jangkrik sawah, beradu dengan suara decitan bambu yang tersiut angin. Melahirkan simponi alam yang tak pernah tercipta di rahim ibu kota. Seakan menyuguhkan keharmonisan dalam perbincangan mereka.