Lihat ke Halaman Asli

Maghrib

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuintip maghrib, dari bailik kaca bus kota yang separuh tertutup poster iklan
Hawa panas menguap, bersama asap knalpot dan orkestra deru mesin-mesin
jingga kusam melingkupi, warna absurd yang kehilangan murni

Trotoar penuh, berdesakan jalan pulang ratusan buruh
Penjaja asongan berlompatan dari mobil-mobil, berjingkatan pada titian nasib yang arahnya masih muskil
Pengamen-pengamen petikkan nada-nada penuh keletihan, meradang serak dileher yang sengal tertahan
Dan para pengemis mengiba, berkaca pada genangan sisa banjir yang kemarin tiba

Lamat panggilan-Mu terdengar, hambar di tengah segala hingar bingar
Sedang menara-menara tinggi rumah-Mu hanya berdiri kaku, meratapi pesonanya yang tak lagi laku
Aku juga menangkap lengkungan besar kubah rumah-Mu, tertempa sisa sinar senja berhablur debu
Maghrib-Mu pilu, tak sepadan ketinggian arsyi-Mu

Sudahlah Tuan, Kau mesti menyapa sendiri
Meninggalkan kubah-kubah mewah dan bertahta lagi pada tengkuk kami yang kadang lengah
Mengistirahatkan penyeru-penyeru yang bermegah suara lalu Kau sambangi keheningan jiwa
Dan menara-menara tinggi itu, KKau tiungkanlah rendah-rendah pada jejak kaki para perindu-Mu

Kau yang perkasa lagi maha lembut rasa
Kau yang penghukum lagi pengampun segala alpa
Kau yang kaya lagi teman para papa
Penguasa pengapnya maghrib dan pereka kesejukan esok subuh tiba
Tuntunlah tangan ini ke tempat Kau penuhi di sana cinta pada sesama

(Cikarang, 7 April Maghrib)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline