Lihat ke Halaman Asli

Dahnil Anzar Simanjuntak

Dosen dan Peneliti

Pertahanan Rakyat Semesta

Diperbarui: 8 Januari 2020   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, "Kalau terpaksa kita terlibat dalam perang, perang yang kita laksanakan adalah perang rakyat semesta. The concept of the total people war," memantik polemik di tengah masyarakat.

Bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan. Karena Indonesia dianggap tidak akan mungkin lagi mengalami peperangan senjata seperti era penjajahan. Apalagi dengan melibatkan rakyat. Sangat tidak mungkin. Bahkan, ada yang menyatakan pemikiran Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto tersebut sudah usang, old fashioned, tidak millennial.

Sejatinya tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan oleh Prabowo tersebut. Keberadaan kata sambung bersyarat "kalau", apalagi ditambah kata "terpaksa", menunjukkan bahwa perang merupakan jalan terakhir setelah semua upaya damai ditempuh sesuai prinsip Indonesia sebagai negara cinta pada kemerdekaan dan kedaulatan. Seribu teman terlalu sedikit. Satu musuh terlalu banyak.

Dan sebagai orang yang konstitusional, Prabowo juga paham bahwa yang berhak menyatakan perang adalah Presiden, itupun harus disetujui DPR (pasal 11 UUD 1945).

Sebenarnya ada hal yang lebih menarik disampaikan Prabowo Subianto dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada 11 November 2019 lalu tersebut. Yaitu, penegasannya bahwa doktrin pertahanan kita adalah pertahanan rakyat semesta.

Hal ini sesuai pasal 30 ayat (2) UUD. Kata semesta menunjukkan upaya mempertahankan negara melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya seperti dijelaskan pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 34 tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia, dan penjelasan pasal 2 huruf b UU Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Doktrin pertahanan semesta ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman keterlibatan semua anak bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah, terutama antara tahun 1945-1949, masa yang disebut pihak Belanda sebagai periode Bersiap (Anwar, 2010). Saat itu masih disebut dengan Pertahanan Rakyat Total (Widjajanto, 2010).

Sekarang tentu tidak bisa asal melibatkan masyarakat atau kelompok sipil (nonkombatan) dalam perang secara militer atau perang konvensional. Karena harus tunduk pada hukum perang internasional (penjelasan pasal 7 ayat [2] huruf a). Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional, perang bersenjata mensyaratkan untuk melindungi kelompok sipil.

Meski demikian, penegasan Prabowo tersebut mengingatkan seluruh anak bangsa bahwa semuanya harus terlibat dalam upaya pertahanan negara. Tidak hanya Indonesia,semua negara mempunyai konsep pertahanan yang sama.

Malaysia misalnya memiliki konsep Pertahanan Menyeluruh yang disingkat Hanruh. Sementara Singapura menamainya dengan Total Defence. Total Defence sebelumnya memiliki lima pilar. Yaitu Military Defence, Civil Defence, Economic Defence, Social Defence, dan Psychological Defence. Sekarang ditambah satu pilar lagi: Digital Defence.

Pertahanan semesta, menyeluruh, total atau apapun penyebutannya menunjukkan kesadaran dan kesiapsiagaan semua negara bahwa perang di zaman modern ini sangat kompleks. Perang tidak hanya secara militer, tapi juga mencakup berbagai bidang lainnya seperti politik,ekonomi, budaya, media, siber dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline