Lihat ke Halaman Asli

Sertifikasi Guru Hanya Sebatas Sertifikasi Kesejahteraan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Memposisikan diri sebagai yang tidak tahu, penulis selalu bertanya-tanya sebenarnya apa program sertifikasi guru itu? Mendengar istilah “Sertifikasi Guru” penulis terbayang akan sosok guru yang mendapat sertifikat untuk mengajar. Guru bersertifikat pastinya bukanlah guru biasa, tentulah guru-guru yang sudah berkompeten dari segi pengalaman, keterampilan, dan expert dalam Proses Belajar Mengajar di kelas. Guru bersertifikat ini sebelumnya pastilah mendapatkan pelatihan yang baik sebelum lulus dalam ujian untuk mendapatkan predikat guru bersertifikasi. Setelah menyandang gelar guru bersertifikasi maka para guru ini akan kembali kepada murid-muridnya untuk membimbing mereka dengan baik, lebih baik dari sebelum mereka meraih predikat “guru bersertifikasi”. Sehingga mereka mampu membawa peningkatan mutu pendidikan Indonesia.

Begitulah sedikit gambaran tentang guru bersertifikasi menurut pandangan penulis. Namun, apakah memang sudah seperti itu keadaanya?Hafid Abbas, Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta dalam tulisannya yang berjudul “Misteri Pelaksanaan Sertifikasi Guru” di harian Kompas (12 Juni 2013) memaparkan bahwa pada 14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan publikasi: ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia”. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama.

Dalam tulisannya beliau juga menyebutkan bahwa program sertifikasi guru yang diselenggarakan Kemendikbud beberapa tahun terakhir ternyata tidak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional. Sementara anggaran biaya yang dikeluarkan untuk program ini telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP.

Jadi wajar saja jika penulis beranggapan selama ini program sertifikasi guru hanyalah program sertifikasi kesejahteraan semata. Memang tidak ada salahnya jika kesejahteraan guru ditingkatkan. Justru hal itu memang harus dilaksanakan karena memang banyak guru di Indonesia yang hidupnya berada di taraf memprihatinkan. Terlebih pada guru-guru yang mengabdikan diri di pelosok-pelosok daerah. Namun, hendaknya hal itu juga disertai dengan peningkatan kualitas guru dalam mengajar di kelas. Tidak hanya meningkatkan taraf kesejahteraan, tapi penyelenggaraan sertifikasi juga dapat meningkatkan kualitas dan melakukan proses perbaikan belajar mengajar di kelas, sehingga memberikan perubahan nyata terhadap peningkatan mutu pendidikan Indonesia.

Sebagaimana seharusnya peran seorang guru sebagai orang tua murid di sekolah sudah barang tentu guru juga bertanggungjawab terhadap keberhasilan siswa dalam belajar dan juga terhadap akhlaknya. Peran guru sangat sentral dalam membentuk kepribadian siswa, terlebih dengan maraknya aksi-aksi negatif fenomenal yang diperankan oleh kaum pelajar akhir-akhir ini. Kedekatan emosional antara guru dan murid harus terjaga dengan frekuensi yang baik. Penanaman nilai-nilai pembangun karakter senantiasa harus diberikan kepada muridnya. Meskipun porsi mata pelajaran Agama yang terbilang sangat kurang didapat siswa di sekolah, guru hendaklah menyelipkan pendidikan karakter dan pendidikan moral di setiap celah kegiatan belajar mengajar di sekolah. Seperti muatan pendidikan karkater di tiap mata pelajaran hingga menggalakkan kegiatan ekstrakurikuler terutama di bidang kerohanian sebagai sarana penyalur minat, bakat, dan emosi para siswa. Karena aktifitas belajar siswa di sekolah dirasa sangatlah menguras waktu dan tenaga, saking padatnya terkadang siswa sampai tak sempat lagi mengikuti kegiatan kerohanian seperti pengajian di Mesjid karena disibukkan dengan kursus, les, dan tugas dari sekolah. Namun semua dirasa itu masih belum cukup. Dibuktikan dengan fenomena UN yang masih jadi momok menakutkan dan batu sandungan bagi seluruh siswa di Indonesia.

Bila kualitas guru sudah baik, interaksi belajar mengajar di kelas berjalan dengan baik, pendidikan moral dan pembentukan karakter sudah didapat siswa, dan guru dapat memposisikan diri di antara siswanya sesuai peran dan fungsinya, serta bekerja dengan totalitas dan ikhlas untuk pendidikan, mudah-mudahan akan terwujudlah kesejahteraan, tak hanya kesejahteraan hidup bagi guru tapi juga kesejahteraan di dunia pendidikan Indonesia.

*Tulisan ini juga dimuat pada kolom opini Harian Jambi Independent edisi hari ini, 27/11/2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline