Disusun oleh:
1.Arin Khusnaya(2450240017)
2.Muhammad Dafiq Nurin Nasywa(2450240018)
3.Alif Rafi Fi’lul Khoiri Aimar(2450240019)
4.Fayumi Habib Atsani(2450240020)
Kesetaraan gender di dunia kerja berarti kesempatan yang sama bagi semua individu, apapun gendernya. Hal ini mencakup akses yang setara terhadap kesempatan kerja, kemajuan dan pelatihan. Misalnya, sebuah perusahaan manufaktur besar menerapkan kebijakan rekrutmen yang transparan dan obyektif yang hanya mengutamakan kualifikasi dan pengalaman, bukan gender. Kebijakan ini memungkinkan perempuan untuk menduduki posisi yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki seperti teknisi atau manajer produksi.
Kesetaraan gender melibatkan banyak aspek berbeda, termasuk kesetaraan dalam pendidikan, kesempatan kerja, keputusan politik, pengambilan keputusan dan perlindungan hukum. Hal ini juga berarti menolak penggambaran gender yang mengatur praktik dan ekspektasi mereka berdasarkan kelas. Tujuan akhir dari kesetaraan gender adalah untuk menciptakan komunitas di mana laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan mereka, mengkonsep kehidupan mereka, dan menjalani kehidupan mereka bebas dari campur tangan atau diskriminasi.(Rahajeng 2006)
Kesetaraan gender pada dasarnya sama di berbagai lapisan masyarakat. Tuhan menciptakan manusia, Laki-laki dan Perempuan setara karena mereka merupakan bentuk kehidupan tertinggi di bumi. Namun, kadang-kadang ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya peran perempuan dalam kehidupan, yang sering terjadi, termasuk dalam dunia kerja.
Harapan perempuan atas peran mereka dalam masyarakat telah bergeser sebagai akibat dari perubahan yang didorong oleh teknologi dan globalisasi; semakin banyak wanita yang menempuh jalan mereka sendiri di dunia, meninggalkan rumah untuk mengejar minat di luar rumah, dan bahkan memasuki dunia kerja untuk memajukan pengembangan profesional dan pribadi mereka sendiri.
Namun, perempuan masih kurang terwakili dalam banyak bidang profesi akibat stereotip gender yang terus. Ini termasuk anggapan bahwa perempuan tidak mampu mengerjakan pekerjaan tingkat tinggi karena kurangnya sikap kepemimpinan, ketegasan, kecepatan, dan lainnya. Sebagai dampak langsung dari paham berbasis gender ini, perempuan sering dipandang sebagai pengasuh utama yang tidak dibayar dalam urusan rumah tangga, sementara laki-laki lebih sering dilihat sebagai pemimpin di sektor publik.