PEMAKAMAN SENJA
Wadi baru saja selesai mencabuti rumput-rumput yang tumbuh pendek di sekitar kuburan ibunya ketika orang-orang mulai berdatangan memasuki area pemakaman. Burung kedasih yang sedari tadi bernyanyi memilukan di atas dahan pohon beringin raksasa terbang entah kemana bersamaan dengan datangnya orang-orang itu. Bukan karena kedatangan mereka pada saat hari menjelang magrib yang membuat Wadi merasa aneh. Tetapi ada hal lain yang dirasa tidak biasa, sesuatu yang ganjil. Setelah bertahun-tahun bekerja membersihkan area pemakaman, suasana seperti ini baru pertama dia lihat. Selama ini Wadi terbiasa melihat orang berpakaian hitam saat menghadiri pemakaman. Tetapi hari ini, semua yang datang mengenakan pakaian putih-putih.
Keranda ataupun mobil pembawa jenazah belum tampak, tetapi kerumunan semakin bertambah banyak. Melihat ada orang yang mulai menggali di satu bagian yang kosong, Wadi beranjak dari duduknya menghampiri, dia takut nanti disalahkan. Seingat Wadi, petugas Dinas Pemakaman tidak memberi pesan apapun tentang adanya penguburan yang akan dilakukan sore ini.
Baru saja Wadi mendekat, satu orang berbaju putih memberi isyarat agar Wadi menjauh. Satu orang berpakaian putih lainnya, merangkul Wadi ramah, dan membimbing Wadi kembali ke teras kantor Dinas Pemakaman.
"Tunggulah disini, kami sudah mendapatkan izin," ucap laki-laki itu. Suaranya tenang dan berwibawa, tetapi getaran yang merambat lembut ke gendang telinga Wadi, membuat hatinya seketika gentar. Orang itu meninggalkan Wadi sendiri.
Matahari semakin meredup, tetapi orang-orang semakin banyak berdatangan ke tempat itu. Dalam hati Wadi bergumam, pastilah orang yang meninggal ini sangat baik semasa hidupnya, sehingga mengundang begitu banyak orang untuk mengantar kepergiannya. Wadi termenung. Dia memikirkan kepergiannya nanti. Apakah dia juga akan diantar oleh orang sebanyak ini.
Tentu Wadi cukup tahu diri. Dia bukanlah seorang ahli agama yang memiliki banyak pengikut. Bukan pula seorang kaya raya yang dengan hartanya bisa berbagi banyak kebaikan kepada sesama. Dia pun bukan orang terkenal seperti para pesohor yang mengundang simpati banyak orang saat mereka tiada. Wadi adalah Wadi. Seorang pemuda desa yang hidup dari menggali tanah untuk orang-orang mati.
Upahnya bekerja di tempat pekuburan memang tidak seberapa, tetapi baginya itu lebih dari cukup. Bagi Wadi, ada yang jauh lebih berharga dibanding uang. Yaitu ibunya. Wadi tinggal berdua saja dengan ibunya. Ibunya adalah seorang yang sudah tua dan lemah. Matanya sudah kehilangan fungsinya. Sehingga Wadi harus menuntunnya bahkan tak ragu untuk menggendongnya jika ibunya bermaksud pergi ke suatu tempat.
Berapa kali dia melepaskan kesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Alasannya sama, dia memikirkan ibunya. Bagaimana jika dia pergi? Siapa yang akan menggendong ibunya ke kamar mandi. Menyuapinya sangat dia lapar dan memberinya minum saat dia merasa haus? atau yang paling sederhana, siapa yang akan menemaninya di rumah.
Ketika anak-anak seusianya berbondong-bondong menjadi buruh ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Wadi memilih tetap berada di kampung. Menjadi seorang penggembala kambing. Dia diberi upah untuk menggembala kambing milik orang lain. Sayangnya, semakin hari semakin sedikit orang yang menitipkan kambingnya kepada Wadi. Tidak banyak orang yang memelihara kambing sekarang. Tanah lapang, sawah, bukit, berlomba dengan pengembang yang mendirikan perumahan di sekitar kampungnya.
Sebab itulah, ketika pegawai Dinas Pemakaman menawarinya pekerjaan sebagai petugas kebersihan pemakaman, Wadi langsung menyanggupinya. Wadi senang dengan pekerjaan barunya. Selain bisa mendapatkan uang, dia juga tetap bisa berbakti kepada ibunya.