Lihat ke Halaman Asli

Analisis: Tapak Tilas dan Jejak Langkah Santri

Diperbarui: 13 Februari 2023   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konon, “Menang jadi abu, kalah jadi arang.” Maksudnya apa pun kondisinya jika dua pihak berperang, maka kedua belah pihak itu akan sama-sama merugi pada akhirnya, mulai dari kerugian finansial hingga psikologis masyarakat yang bisa saja trauma berat karena perang. 

Namun, apa salahnya jika berperang untuk mendapat hak hidup yang lebih layak, toh, berperang juga merugi agar tidak rugi. Indonesia selama 350 tahun berada dalam penderitaan di bawah penjajahan dari mulai Portugis, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Belanda, Inggris, dan kembali lagi ke tangan Belanda dan terakhir Jepang, mereka silih berganti mengeksploitasi hak milik bumiputra. “Berdagang,” katanya, tapi kerakusan mengubah tujuan mereka menjadi menjajah bumi khatulistiwa. “Juru selamat,” katanya, tapi pada akhirnya mereka juga yang malah mengeksploitasi hasil bumi Indonesia.  

Ketamakan yang awalnya dari individu berubah menjadi terstruktural, mereka yang awalnya membangun hubungan dengan bumiputra dan berdagang, berubah menjadi membangun koloni dengan tujuan memonopoli kekayaan hasil bumi untuk perut mereka sendiri. Sedang, bumiputra dipaksa kerja di negeri sendiri, menanam buah dan sayur bukan untuk diri sendiri, membangun rumah bukan untuk mereka tinggali.

Ketamakan sudah menjadi sebagian dari ideologi dan sifat mereka. Hukumhukum yang dibuat pun berdasar keuntungan dan kepentingan pribadi, sementara bumiputra merasai. Hasil bumi khatulistiwa dijual ke luar negeri sampai-sampai VOC dinyatakan sebagai perusahaan terkaya di dunia hingga saat ini dengan kekayaan mencapai 110 kuadriliun rupiah, perbandingannya adalah kekayaan perusahaan Apple sekarang adalah sekitar 40 triliun rupiah.

Perjuangan demi perjuangan dilancarkan para bumiputra dari mulai zaman kerajaan, kesultanan, hingga zaman intelektual. Semua itu dilakukan untuk merebut kembali permen yang diambil orang dewasa darinya. Sehingga pada 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dengan bangga diumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang menyatukan Sabang sampai Merauke.

Orang-orang bersorak gembira mendengar berita itu, “Merdeka! Merdeka!
Merdeka!” pekik mereka menggetarkan bumi khatulistiwa.

Rakus ya rakus, sifat lama kambuh lagi. Rakyat menjerit, si penjajah balik lagi dengan dasar meruntuhkan negara boneka milik fasisme Jepang, katanya. Para blok sekutu membantu Belanda menguasai Indonesia, bahkan membikin pasukan khusus bernama AFNEI (Aliied Forces for Netherland Indies). Dalam seketika, wilayah-wilayah penting di Indonesia diduduki, termasuk salah satunya adalah kota Surabaya.

Kota Surabaya menjadi salah satu korban kerakusan Belanda. Para arek Suroboyo yang sudah resah dengan penjajahan, mengangkat senjata mereka mengacungkan senjata pada bangsa asing yang telah mengganggu kedamaian.
“Merdeka atau mati,” ucapan Bung Tomo dari radio menggema ke seluruh penjuru dan membakar semangat para pejuang untuk menghapus penjajahan sesuai UUD 1945 yang merupakan dasar negara bangsa Indonesia.

Peristiwa perobekan bendera merah putih biru milik Belanda menjadi sang sangka merah putih milik Indonesia, menjadi salah satu peristiwa monumental dalam usaha Indonesia mempertahankan kemerdekaannya yang baru seumur jagung. Perang yang berlangsung selama tiga minggu ini menyisakan banyak kesedihan di mana ribuan pejuang harus wafat dan ratusan ribu warga harus mengungsi. Memang kemenangan ini memakan banyak korban. Namun seperti yang dikatakan di awal, kita perang memang merugi, tapi agar nanti tidak merugi lagi dan anak cucu bisa hidup sejahtera di negeri khatulistiwa.

“Kota Pahlawan,” julukan yang disematkan ke kota ini sebagai bentuk penghormatan dari bangsa ini untuk para pejuang arek Suroboyo, yang dengan tangguhnya mempertahankan kemerdekaan. Keringat dan darah sudah menjadi dasar bagi kota itu.
Memang banyak peristiwa dari pertempuran Surabaya, namun kebanyakan orang hanya tahu Bung Tomo, perobekan bendera, pemuda dan lainnya. Mereka lupa sosok yang pertama kali menggaungkan suaranya untuk melawan para penjajah.

Ulama dan Santri di Kota Pahlawan
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah…”  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline