Dalam wawancara lebih lanjut pada 5 Desember 2024, Profesor Hukum John Reynolds dari Maynooth University menanggapi pertanyaan mengenai tekanan politik yang dialami oleh hakim-hakim Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), terutama terkait dengan kasus yang melibatkan pemimpin Israel, Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant.
Daniel Finn, yang mewawancarai Reynolds dilansir dari Jacobin, mengungkapkan bahwa akan sangat tidak realistis untuk menganggap para hakim ICC hanya memandang kasus ini dari sudut pandang hukum yang murni, tanpa mempertimbangkan tekanan politik yang semakin besar, terutama dari sejumlah politisi Amerika Serikat.
Reynolds mengakui bahwa tekanan terhadap ICC memang sangat kuat dan hal seperti ini bukanlah hal yang baru. Ia mencatat bahwa sudah ada laporan tentang upaya-upaya dari intelijen Israel untuk mengintimidasi jaksa sebelumnya dan pejabat di ICC dalam beberapa tahun terakhir.
Di bawah pemerintahan Trump, AS bahkan sudah memberlakukan sanksi terhadap pejabat ICC yang terlibat dalam penyelidikan kejahatan yang dilakukan oleh pasukan AS di Afghanistan.
Sementara itu, anggota Partai Republik di Kongres AS kini telah mengajukan RUU yang disebut Illegitimate Court Counteraction Act. RUU ini secara eksplisit menyatakan bahwa "ICC tidak memiliki legitimasi atau yurisdiksi atas Amerika Serikat atau Israel." Dalam undang-undang yang diusulkan ini, seluruh staf ICC, hakim, saksi, atau siapa pun yang membantu penyelidikan ICC terhadap AS, Israel, atau negara-negara NATO lainnya bisa dikenakan sanksi oleh pemerintah AS, termasuk sanak keluarga mereka.
RUU yang disebut Illegitimate Court Counteraction Act. RUU ini secara eksplisit menyatakan bahwa "ICC tidak memiliki legitimasi atau yurisdiksi atas Amerika Serikat atau Israel."
Meski demikian, Reynolds menegaskan bahwa ICC harus mengambil keputusan hukum dengan berdasarkan bukti yang ada, autentik, dan cukup, meskipun ada tekanan politik yang besar. Ia mencatat bahwa tekanan ini semakin meningkat seiring dengan berjalannya proses penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant.
"Namun, saya rasa keputusan ICC untuk bertindak sekarang ini dipengaruhi oleh akumulasi bukti dan tekanan yang sudah berlangsung selama lebih dari lima belas tahun," ujar Reynolds.
"Namun, saya rasa keputusan ICC untuk bertindak sekarang ini dipengaruhi oleh akumulasi bukti dan tekanan yang sudah berlangsung selama lebih dari lima belas tahun," ujar Reynolds.
Reynolds juga mengungkapkan bahwa serangan genosida yang berlangsung lebih dari satu tahun di Gaza pada 2023-2024 telah menghilangkan segala bentuk alasan plausibel bagi ICC untuk tidak bertindak. "Tidak ada lagi alasan bagi ICC untuk mengatakan 'kami tidak punya cukup bukti' atau 'kami harus memprioritaskan kasus lain yang lebih mendesak,'" tambahnya. Menurutnya, dengan semakin jelasnya kejahatan yang terjadi di Gaza, ICC tidak bisa lagi menunda tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan perang ini.