I. Hak Interpelasi yang Dihilangkan Fungsinya
Tan Malaka menyoroti kegagalan Parlemen Jerman dalam menggunakan hak Interpellatie (interpelasi) sebagai alat pengawasan terhadap pemerintah. Walaupun hak ini ada secara formal, mekanisme dan implementasinya dirancang sedemikian rupa sehingga justru menghalangi efektifitasnya.
- Proses yang Berbelit: Dalam sistem Jerman, pertanyaan anggota parlemen harus terlebih dahulu ditandatangani oleh 30 orang anggota, kemudian disetujui oleh minimal 5 anggota tambahan. Bahkan jika semua persyaratan ini terpenuhi, pemerintah memiliki kebebasan penuh untuk menjawab kapan pun mereka mau. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk mengulur waktu, bahkan hingga isu tersebut terlupakan oleh semua pihak.
- Diskriminasi dalam Jawaban Pemerintah: Pertanyaan dari anggota parlemen yang mendukung pemerintah biasanya mendapat tanggapan segera, sedangkan pertanyaan dari oposisi sering kali diabaikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah hanya menggunakan hak Interpellatie sebagai alat untuk menunjukkan citra yang baik, bukan untuk transparansi.
- Kehilangan Kepercayaan Publik: Dengan melemahkan hak Interpellatie, pemerintah menciptakan jarak antara parlemen dan rakyat. Rakyat kehilangan kepercayaan pada parlemen sebagai institusi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan mereka.
J. Ketidakmampuan Parlemen untuk Menegur Pemerintah
Tan Malaka mengungkapkan bahwa Parlemen Jerman tidak memiliki mekanisme untuk benar-benar meminta pertanggungjawaban pemerintah. Bahkan ketika anggota parlemen ingin memberikan kritik atau teguran, pemerintah sering kali menghindar secara fisik, seperti "bersituli" (tidak hadir dalam sidang) atau "sembunyi" di istana.
- Absennya Pemerintah dalam Sidang: Kaisar atau para menteri sering kali tidak hadir saat sidang parlemen berlangsung, terutama jika mereka merasa bahwa agenda sidang tidak akan menguntungkan mereka. Dengan cara ini, pemerintah menghindari konfrontasi langsung dengan anggota parlemen.
- Kritik yang Tidak Efektif: Meski kritik pedas sering kali dilontarkan dalam sidang parlemen, tanpa kehadiran pemerintah, kritik ini hanya menjadi kata-kata kosong yang tidak menghasilkan perubahan apa pun.
K. Tidak Adanya "Mosi Tidak Percaya"
Salah satu kelemahan mendasar dalam sistem parlemen Jerman adalah ketiadaan hak untuk mengajukan "Mosi Tidak Percaya" (vote of no confidence) terhadap pemerintah. Di sistem parlemen sejati, mosi ini adalah alat penting untuk menegur dan mengganti menteri atau pemerintah yang gagal menjalankan tugasnya. Namun, di Jerman:
- Menteri sebagai Perkakas Kaisar: Menteri-menteri diangkat langsung oleh kaisar dan hanya bertanggung jawab kepada kaisar. Mereka tidak memiliki otonomi atau tanggung jawab pribadi terhadap keputusan mereka, karena mereka hanyalah pelaksana perintah kaisar.
- Kaisar sebagai Penentu Utama: Bahkan jika parlemen ingin mengajukan mosi tidak percaya, kaisar memiliki wewenang penuh untuk mengabaikannya. Ini menunjukkan bahwa parlemen tidak memiliki pengaruh nyata terhadap jalannya pemerintahan.
L. Dominasi Kaisar atas Parlemen
Tan Malaka menggambarkan bagaimana kaisar Jerman, khususnya Wilhelm II, mendominasi parlemen secara mutlak. Kekuasaan absolut kaisar membuat parlemen hanya menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan yang sudah diputuskan sebelumnya.
- Pengangkatan Pejabat yang Kontroversial: Tan Malaka menyoroti pengangkatan Michaelis, seorang pejabat yang hampir tidak dikenal, menjadi kanselir pada masa kritis. Keputusan ini mencerminkan ketidakterlibatan parlemen dalam proses pengangkatan pejabat tinggi, yang sepenuhnya ditentukan oleh keinginan kaisar.
- Perang Dunia Pertama sebagai Bukti Dominasi Kaisar: Dalam Perang Dunia Pertama, kaisar memanfaatkan parlemen untuk mendukung ambisinya memperluas kekuasaan dan kejayaan pribadi. Parlemen, yang seharusnya menjadi wakil rakyat, justru mendukung perang yang membawa bencana bagi rakyat Jerman dan dunia. Kaisar bahkan menggunakan parlemen untuk menciptakan narasi bahwa perang tersebut mendapat persetujuan rakyat.
M. Penutup: Pelajaran dari Kegagalan Parlemen Jerman
Tan Malaka menyimpulkan bahwa parlemen Jerman hingga tahun 1918 hanyalah perkakas pemerintah yang dikendalikan oleh kaisar. Hak-hak seperti Interpellatie dan Initiatief tidak dimanfaatkan secara efektif, sementara ketiadaan mosi tidak percaya membuat parlemen kehilangan daya untuk menegur atau mengganti pemerintah yang tidak kompeten.
Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman ini adalah pentingnya membangun parlemen yang independen dan memiliki mekanisme pengawasan yang kuat. Hak-hak parlemen harus didukung dengan sistem yang memungkinkan implementasi nyata, dan wakil rakyat harus memiliki keberanian untuk melawan otoritarianisme.
Dalam konteks modern, kegagalan parlemen Jerman menunjukkan bahwa demokrasi memerlukan lebih dari sekadar institusi formal. Demokrasi membutuhkan komitmen nyata dari semua pihak untuk menegakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pemerintahan.
Selesai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI