Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

Salahuddin Al-Ayyubi dan Fragmentasi Dunia Muslim: Inspirasi Strategi Era Kontemporer

Diperbarui: 16 Januari 2025   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tentang peradaban Islam yang maju (Sumber gambar: @TaiMabArt)

A. Fragmentasi dan Pengaruh Asing dalam Dunia Muslim Saat Ini

1. Fragmentasi Pasca-Ottoman dan Perjanjian Sykes-Picot

Sejarah modern dunia Muslim mencerminkan banyak aspek dari era Salahuddin, terutama dalam hal fragmentasi politik dan dominasi asing. Setelah jatuhnya Khilafah Ottoman pada tahun 1924, wilayah-wilayah Muslim dibagi menjadi negara-negara bangsa melalui perjanjian seperti Sykes-Picot (1916), yang dirancang oleh kekuatan kolonial Eropa, yakni Inggris dan Prancis. Perjanjian ini menciptakan batas-batas semu yang memisahkan komunitas Muslim yang sebelumnya bersatu, sering kali tanpa mempertimbangkan kesamaan budaya, agama, atau sejarah mereka.

2. Balfour Declaration dan Konflik Palestina

Pada tahun 1917, Deklarasi Balfour yang mendukung pendirian tanah air Yahudi di Palestina menjadi awal dari konflik berkepanjangan di wilayah ini. Yerusalem, yang dulu dibebaskan oleh Salahuddin dan menjadi simbol persatuan umat Islam, kini menjadi pusat konflik yang mencerminkan ketidakmampuan dunia Muslim modern untuk merespons ancaman eksternal secara kolektif.

B. Campur Tangan Asing dan Pemerintah Boneka

Pasca-Perang Dunia I, kekuatan kolonial seperti Inggris dan Prancis tidak hanya membagi wilayah Muslim, tetapi juga memasang pemerintahan-pemerintahan boneka yang mendukung kepentingan kolonial mereka. Hal ini diperparah oleh kebijakan sekularisasi yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam dalam politik dan kehidupan publik.

Strategi-strategi seperti yang diuraikan oleh RAND Corporation tersebut, yang mendorong sekularisasi di dunia Muslim, menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menurunkan peranan Islam sebagai kekuatan pemersatu bangsa-bangsa. Identitas nasional lokal sering kali dipromosikan sebagai pengganti identitas Islam universal, sehingga menciptakan jurang antara negara-negara Muslim dan melemahkan upaya persatuan regional.

C. Konflik Internal dan Rivalitas Regional

Sebagaimana pada masa Salahuddin, dunia Muslim modern juga diwarnai oleh konflik sektarian dan rivalitas politik di antara negara-negara Muslim sendiri. Sunni-Syiah masih menjadi salah satu sumbu utama konflik, dengan perang saudara dan ketegangan yang terjadi di negara-negara, seperti Suriah, Irak, dan Yaman. Selain itu, negara-negara besar di dunia Muslim, seperti Arab Saudi, Turki, Indonesia, Iran, dan Mesir, sering kali terjebak dalam agenda politik masing-masing, yang justru memperdalam jurang perpecahan di antara dua aliran Islam arus utama ini.

Ketergantungan negara-negara Muslim pada kekuatan asing, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Eropa, semakin memperlemah kedaulatan dunia Muslim. Setiap kekuatan global ini memiliki agenda strategis sendiri, sering kali memperburuk konflik internal dunia Muslim demi keuntungan geopolitik mereka.

D. Pelajaran dari Salahuddin untuk Dunia Muslim Modern

Kondisi modern dunia Muslim menunjukkan urgensi untuk menerapkan kembali pelajaran dan hikmah-hikmah dari kepemimpinan Salahuddin Al-Ayyubi, khususnya dalam menghadapi fragmentasi internal dan pengaruh asing yang memperlemah kekuatan umat Muslim sedunia.

1. Mengutamakan Persatuan Umat Islam

Salahuddin menyadari bahwa persatuan adalah syarat utama untuk mengalahkan musuh eksternal. Dunia Muslim modern dapat belajar dari pendekatan ini dengan membangun aliansi yang kokoh di antara negara-negara Muslim sedunia dan menyingkirkan kepentingan sektarian demi tujuan yang lebih besar. Dengan mengurangi intensi-intensi bersifat sektarian ini, maka perlu ada kehendak dari negara-negara Muslim untuk menjaga alirannya di masing-masing wilayah dan tidak perlu menyebarkannya ke negara Muslim lainnya. Misalnya, Iran yang beraliran Syiah 'Itsna Asyariah tidak perlu mengagendakan dakwah syiah di Indonesia yang beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah (Sunni). Begitu juga, Arab Saudi yang berairan Salafi-Wahhabisme tidak perlu menyebarkanya ke wilayah yang beraliran Sunni.

2. Memprioritaskan Kepentingan Umat di Atas Agenda Regional

Seperti Salahuddin yang mengesampingkan konflik lokal untuk fokus pada misi membebaskan Yerusalem, negara-negara Muslim masa kini perlu menyelaraskan agenda mereka untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Rivalitas regional antara negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Indonesia, dan Turki harus diubah menjadi kerja sama strategis demi kemajuan umat Islam sedunia.

3. Menolak Dominasi Asing dan Mengutamakan Kemandirian

Salahuddin menunjukkan bahwa kekuatan internal umat Islam harus menjadi pilar utama dalam menghadapi ancaman eksternal. Dunia Muslim modern perlu mengurangi ketergantungan pada kekuatan global dan fokus pada pengembangan kekuatan sendiri, baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun teknologi. Hal seperti ini, apabila dilakukan, maka negara-negara Muslim akan berdikari dan tidak bergantung dengan politik "minyak" ala Amerika dan Barat.

4. Menghidupkan Identitas Islam Universal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline