Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

Cahaya Ilahi: Politik Kenegaraan a la Al-Qur'an Menurut Buya Syafi'i Ma'arif

Diperbarui: 15 Januari 2025   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber gambar: MuslimMatters.com)

Perhatian utama bagi umat Islam adalah bahwa kitab suci Al-Qur'an dapat membimbing kita menuju ke arah kebenaran dan suasana kehidupan yang lebih baik lagi. Meski kata-kata Allah ditemukan lebih dari 2.500 kali dalam Al-Qur'an, ditambah dengan Ar-Rabb (Maha Pemelihara) dan Ar-Rahman (Maha Kasih), kitab suci ini sejatinya diperuntukkan kepada manusia sebagai buku pedoman untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat.

Syekh Muhammad Abduh, salah satu tokoh modernisme Islam yang banyak mempengaruhi Kiai Dahlan dan Buya Hamka, pernah menjelaskan bahwa Al-Qur'an akan selalu menjadi landasan yang kuat (hujjah) bagi setiap umat manusia sampai datangnya Hari Kebangkitan (Hari Kiamat). Sebagai kitab suci, Al-Qur'an juga telah menjabarkan tentang cara-cara hidup yang praktis bagi manusia. Ia memberikan penekanan pada amal-perbuatan daripada hanya sekadar gagasan saja. Dalam hal ini, maka "keimanan" akan lebih berarti apabila diiringi dengan perbuatan positif dan konstruktif.

Abduh kemudian mengkritik pemahaman Islam-skolastik yang telah dipengaruhi sangat jauh dengan filsafat Yunani. Meskipun memang memberikan keluasan cakrawala pengetahuan para ulama dan teolog Islam, menurut Abduh, filsafat Yunani telah "mengaburkan visi mereka tentang Al-Qur'an." 

Al-Qur'an telah memberikan petunjuk komprehensif kepada umat manusia baik sebagai perseorangan maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat untuk mewujudkan suatu kehidupan yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi. Al-Qur'an pun menjelaskan bahwa dalam kehidupan di dunia kita harus menjalani kebaikan, sehingga dapat menjadi perbekalan untuk kita setelah sampai di akhirat.

"Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar)." (QS Al-Isra: 72).

Al-Qur'an juga menunjukkan hal-hal yang logis dan terpadu secara keseluruhan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia di dunia akan dibimbing oleh kekuatan moral dan etis yang disampaikan oleh Al-Qur'an sebagai wahyu Ilahi terakhir. 

Tidak hanya berkaitan dengan akhlak dan fikih, Islam juga mengajarkan manusia tentang kenegaraan. Dalam pandangan Islam, tujuan dari adanya negara di dunia adalah, "untuk memelihara keamanan dan integritas wilayah, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua manusia."

Berbeda dengan filsafat Marxisme, Islam sebagai suatu konsep politik, tidak menghendaki teori pertentangan kelas yang antagonistik, dominasi kelas terhadap kelas lainnya, dan juga eksploitasi kelompok oleh kelompok lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena prinsip yang seperti demikian itu akan menghancurkan prinsip dan perintah moral dalam Al-Qur'an untuk membentuk suatu tata tertib sosial-dinamis yang etis. Namun demikian, segala bentuk penindasan yang bersifat eksploitatif dan dominatif, harus dikikis sampai habis menurut Islam, sebab hal itu bertentangan sepenuhnya dengan perspektif kemuliaan manusia dalam Islam. 

Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, Al-Qur'an diwahyukan untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk politik, sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles. Oleh karena itu, untuk memahami petunjuk Al-Qur'an terhadap manusia sebagai makhluk politik, dapat kita telusuri dari sejarah Islam sejak zaman Nabi di Mekah (610-622 M) dan pada masa Madinah (622-632). 

Periode Madinah sendiri hanyalah sekadar kelanjutan dari periode Nabi di Mekah. Namun, terdapat perbedaan di antara kedua zaman itu, yakni pada zaman Mekah, Nabi belum disokong oleh kekuasaan politik mana pun , sedangkan di zaman Madinah, Nabi mulai membangun kekuasaan politik Islam, dengan Nabi sendiri sebagai "kepala politik dan agamanya", sekalipun beliau tidak pernah menyatakan dirinya sebagai penguasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline