Kisah-kisah tentang Walisongo tak dapat dipisahkan dari aspek sosiologis dalam kehidupan orang Jawa, terutama yang beragama Islam. Bahkan, orang Jawa benar-benar menggeluti Islam “walisongoisme” atau pemikiran-pemikiran dari Wali Songo. Pernyataan ini tampaknya tidak berlebihan, sebab berkat jasa para wali Allah ini, Islam berhasil berkembang dan berjaya di tanah Jawa.
Apabila kita telusuri kembali sejarah, Islam sudah mulai memasuki Nusantara pada abad ke-7. Namun, perkembangan Islam baru benar-benar signifikan pada abad ke-12 sampai ke-14, tepatnya pada masa Wali Songo menyebarkan Islam dan mulai berdakwah. Oleh karena itu, Wali Songo dinilai sangat berjasa dalam “meng-Islam-kan” Pulau Jawa.
Setelah kepercayaan-kepercayaan lokal dan agama Hindu-Buddha berkembang, Islam hadir sebagai agama baru di masyarakat Pulau Jawa. Pendekatan kultural pun digunakan oleh Sunan Kalijaga guna menarik hati masyarakat, misalnya dengan melalui hal-hal yang digemari oleh masyarakat Jawa.
Salah satu caranya adalah dengan menggunakan seni sebagai media, seperti perwayangan dan tembang-tembang berbahasa Jawa. Pendekatan ini kemudian menghasilkan pandangan di kalangan masyarakat Jawa, bahwa Islam, sebagai agama baru, juga mampu “merangkul” budaya mereka, sehingga tidak ada perasaan “alienasi” atau keterasingan diri terhadap Islam. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga juga dikenal sampai sekarang sebagai seorang dalang dalam seni perwayangan.
Sunan Kalijaga pernah menggunakan cerita tentang Dewa Ruci untuk menjadi fasilitator penyebaran ajaran agama Islam. Cerita Dewa Ruci ini mengisahkan perjalanan Raden Werkudara (Bima) dalam pencarian seorang bernama Tirta Prawitasari atau air suci. Resi Durna yang merupakan guru Bima kemudian memerintahkan Bima untuk mencari air suci tersebut.
Kepada Bima, Resi Durna menuturkan, “Anakku tercinta, air suci itu berada di tengah Hutan Tikbrasara. Di dalam hutan lebat itu terdapat Gunung Reksamuka. Air suci terletak di dalam gua gunung itu.”
Perintah Resi Durna kemudian disangsikan oleh saudara-saudara Bima, yaitu empat Pandawa lainnya. Mereka mencurigai bahwa perintah tersebut hanyalah siasat licik dari Kurawa untuk memusnahkan keluarga mereka. Namun, peringatan itu tidak diindahkan oleh Bima. Baginya, perintah Sang Guru wajib untuk dipatuhi. Bima meyakini bahwa ia tidak mungkin dibunuh, karena niatnya adalah suci, yaitu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Restu Sang Dewata diyakininya pasti menyertainya.
Setibanya di gua Gunung Reksamuka, dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala, justru yang ditemui oleh Bima. Mereka pun segera bertarung, dan Bima berhasil mengalahkan kedua raksasa tersebut. Akan tetapi, Bima tetap kecewa karena tidak menemukan air suci. Ia kembali kepada gurunya untuk meminta petunjuk. Melihat kedatangan Bima yang dikiranya akan kalah melawan kedua raksasa itu, Resi Durna—Sang Guru—pun terkejut.
“Wahai putraku yang sedang diuji, kini terbukti bahwa engkau adalah muridku yang setia. Maka, akan kutunjukkan keberadaan air suci yang sesungguhnya. Ia berada di tengah samudra. Seberangilah samudra itu dengan berjalan kaki,” titah Sang Guru.
Tanpa keraguan terhadap titah Gurunya, petunjuk gurunya langsung dipatuhi oleh Bima. Di tengah samudra, air suci itu dicarinya, tetapi tetap tidak ditemukan. Malahan, ia diserang oleh seekor ular-naga Amburnawa di tengah samudra itu. Tubuh Bima kemudian dililit oleh ular-naga tersebut. Namun demikian, Bima tetap berhasil menancapkan kukunya sampai ular-naga Amburnawa itu tewas. Bima menang lagi.