Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Membedah Nasionalisme Indonesia Pasca-Kemerdekaan: Temuan Clifford Geertz yang Mengejutkan!

Diperbarui: 4 Desember 2024   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: ANTARA FOTO

Dalam The Religion of Java (1960), Clifford Geertz memberikan gambaran etnografis yang kaya tentang periode awal pasca-kemerdekaan di Indonesia, dengan fokus pada keterkaitan antara nasionalisme, modernitas, dan revolusi yang telah berlangsung. Geertz menggambarkan "Mojokuto" (nama samaran untuk daerah Pare di Jawa Timur) sebagai satu sampel bagaimana nasionalisme pada masa itu menjadi fenomena yang terjadi di perkotaan. Fenomena ini didukung oleh identitas nasional akan ke-Indonesia-an yang sedang berkembang, meski masih rapuh dan belum sempurna, serta kepercayaan diri dari bangsa yang baru lahir, khususnya di kalangan elite pemimpin nasional, pemuda-pemuda terpelajar, dan masyarakat perkotaan.

"Energi revolusi pada awal 1950-an merupakan kekuatan pendorong utama dari nasionalisme. Didukung oleh identitas nasional yang baru, meskipun masih lemah, serta rasa percaya diri yang baru tetapi masih belum sepenuhnya mantap, nasionalisme menjadi faktor integrasi yang penting dalam masyarakat, terutama bagi kalangan elite, kaum muda terpelajar, dan massa perkotaan. Bahkan, bagi beberapa orang yang lebih terlibat, nasionalisme dianggap sebagai agama yang sekuler."

Geertz menjelaskan bagaimana perayaan uari nasional, seperti Hari Lagu Kebangsaan, sebagian besar masih terbatas pada kalangan priyayi saja (elite administrasi), sedangkan sebagian besar masyarakat lainnya masih merasa canggung atau malu untuk ikut serta berpartisipasi. Contoh yang mencolok adalah nyanyian lagu kebangsaan yang dinyanyikan oleh para pejabat desa, yang sangat kesulitan dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini menurut Geertz adalah wajar sekali, sebab pada saat itu bahasa Indonesia masih belum dikuasai oleh semua orang. Partisipasi dalam kegiatan yang sarat nasionalistik ini masih sangat minim, dan sering kali dibayang-bayang oleh prasangka yang miring terhadap kelompok tertentu, seperti komunitas Tionghoa.

"Pada Hari Lagu Kebangsaan, sekelompok pelajar Tionghoa yang mengenakan seragam putih berbaris dengan cepat di halaman Kantor Distrik. Ada kompetisi wajib dalam menyanyikan lagu kebangsaan (yang, karena menggunakan bahasa Indonesia, tidak dapat dikuasai oleh semua orang) oleh pejabat desa dari delapan belas klaster desa, serta pidato dari beberapa pemimpin kota dan Kepala Distrik. Namun, sangat sedikit orang yang datang untuk menyaksikan acara tersebut, dan mereka yang datang kemungkinan besar hanya diingatkan pada prasangka mereka terhadap orang Tionghoa yang sukses secara komersial."

Sebaliknya, pawai Hari Buruh yang diorganisasikan oleh kelompok Komunis (sayap kiri) menunjukkan keterlibatan yang jauh lebih besar, tetapi karena adanya pembatasan dari pemerintah Republik pada masa itu, kegiatan Hari Buruh ini hanya berlangsung dengan jalan yang cukup moderat. Geertz juga mencatat bagaimana kelompok Muslim ortodoks (kaum santri dari Pesantren-pesantren Islam) tidak berhasil mendirikan hari libur politik mereka sendiri, yang menekankan adanya beragam pengaruh politik dan agama yang saling bersaing dalam membentuk identitas nasional, pada masa awal kemerdekaan dan pembentukan Republik. Namun demikian, perkembangan di era sekarang, menunjukkan keberhasilan bagi para Santri, sebab Pemerintah Presiden Joko Widodo telah menetapkan Hari Santri sebagai bagian dari hari libur nasional.

"Pada tanggal 1 Mei, organisasi yang didominasi oleh Komunis mengadakan pawai dengan spanduk yang menuntut kematian imperialisme, penghentian korupsi, penyerahan Papua Barat ke Indonesia, dan lain-lain. Mereka berkumpul di alun-alun kota, di mana diadakan rally besar di bawah gambar-gambar besar Stalin, Lenin, Mao, dan pahlawan serta pemimpin Komunis nasional (baru-baru ini, menampilkan potret pemimpin asing telah dilarang). Sebagian karena partai Komunis mendukung Pemerintah, dan sebagian karena Pemerintah, yang takut akan kekerasan, memberlakukan aturan yang cukup ketat tentang apa yang boleh dikatakan dan dilakukan pada tanggal 1 Mei serta menegakkannya dengan kehadiran banyak polisi bersenjata, pawai dan perayaan tersebut cenderung berlangsung cukup ringan."

Pengamatan Geertz tentang tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia, pun menunjukkan bahwa perayaan Hari Besar Bangsa Indonesia ini sangatlah disambut oleh kalangan elite perkotaan, yang memperkuat hubungan antara nasionalisme-modern a la pemikiran Barat dan budaya perkotaan yang sedang meranjak naik. Hari tersebut dirayakan dengan acara-acara seperti parade, pertandingan olahraga, dan upacara resmi, di mana menunjukkan identitas nasional modern yang semakin menjadi primadona, meskipun masih dalam tahap perumusan. Akan tetapi, ketika kita saksikan pada hari ini, acara-acara berupa parade 17 Agustus-an (sebutan untuk perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia), telah berlangsung sangat masif di seluruh wilayah Indonesia, baik perkotaan maupun perdesaan.

"Bahkan 17 Agustus dirayakan sebagian besar oleh orang-orang yang mewakili nasionalisme modern---yakni kalangan intelektual perkotaan, sehingga nasionalisme sangat identik dengan modernitas. Ada parade anak-anak sekolah lengkap dengan drum corps, lomba penyusunan bunga untuk wanita dengan hadiah berupa set peralatan makan, berbagai lomba olahraga seperti bulu tangkis, bola voli, satu-ocat, dan sepak bola, dengan piala untuk tim pemenang. Ada juga pameran bayi di mana pemenang dipilih berdasarkan kesehatan dan kecantikan. Banyak bendera nasional Indonesia yang dipasang, ada makan malam dan resepsi formal untuk para pemimpin kota dari berbagai kelompok di Kantor Distrik, dan puncaknya adalah pidato Presiden Republik yang disiarkan dari Jakarta dan disebarkan melalui pengeras suara ke kerumunan orang yang berkumpul di alun-alun umum."

Karya Geertz mencerminkan bagaimana negara secara aktif menyebarkan konsep bangsa, yang erat kaitannya dengan modernitas dan revolusi. Deskripsinya tentang daerah "Mojokuto" mengilustrasikan argumentasi dari Benedict Anderson tentang betapa artifisialnya memisahkan "bangsa" dari konsepsi "negara," dengan menunjukkan bahwa bangsa pada dasarnya adalah hasil dari upaya suatu negara untuk mempromosikan budaya modern yang terpadu. Keterkaitan antara revolusi, modernitas, dan nasionalisme melalui elite perkotaan dan aparatus negara (PNS atau ASN) ini menjadi pusat analisis etnografis Geertz tentang Indonesia pada awal 1950-an.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline