Pemberhentian Presiden Republik Indonesia telah diatur dalam UUD 1945, bahkan sejak sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945. Pemberhentian Presiden, baik sebelum amandemen maupun sesudah, sama-sama bukan hal yang mudah.
Pemberhentian dan impeachment adalah dua istilah yang berbeda, tetapi saling terkait. Impeachment berasal dari kata impeach, yang dalam bahasa Inggris bersinonim dengan charge dan accuse, berarti menuduh atau mendakwa. Lebih lanjut lagi, maka impeachment adalah sekadar, "sarana yang dapat memberikan kemungkinan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau pejabat tinggi negara, sebelum masa jabatannya berakhir." Pejabat tinggi negara yang dapat di-impeach adalah Presiden, Wakil Presiden, atau kedua-duanya secara bersamaan.
Pada masa berlakunya UUD 1945 sebelum amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah yang berkewenangan untuk memberhentikan Presiden. MPR sendiri terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), urusan golongan, serta utusan daerah.
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen: "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang."
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, maka pemberhentian Presiden dapat dilakukan dalam Sidang Istimewa MPR. Pemberhentian Presiden diakukan apabila Presiden melakukan kejahatan, pengkhianatan terhadap negara, dan tidak mampu lagi menjalankan jabatannya. Selain itu, Presiden juga dapat diberhentikan apabila telah selesai menjalani masa jabatannya.
Setelah adanya amandemen UUD 1945, Pemberhentian Presiden di Indonesia justru menjadi lebih rumit. Dalam keadaan normal, sangat sulit untuk memberhentikan Presiden. Dengan demikian, sesudah amandemen UUD 1945 Presiden tetap dapat di-impeach, tetapi harus melalui prosedur ketatanegaraan lainnya yang panjang dan rumit.
Pasal 7A sesudah amandemen berbunyi: "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya, setelah terbukti melanggar salah satu alasan berikut:
- Melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara;
- Korupsi;
- Penyuapan;
- Tindak pidana berat lainnya;
- Perbuatan tercela; dan
- Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wapres.
Pasal 7B UUD 1945 sesudah amandemen:
(1) "Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
(2) "Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat."