Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Opendeur Politiek: Kebijakan Kolonial yang Mengubah Perekonomian Indonesia Selamanya!

Diperbarui: 17 November 2024   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Creazilla (Creative Commons License)

Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan beleid baru terkait politik-ekonomi yang akan diselenggarakan di tanah jajahannya. Beleid ini kemudian dikenal sampai sekarang dengan "politik pintu terbuka" (Opendeur Politiek) dan ditetapkan pada 1870. Dengan demikian, sistem kapitalisme dengan ekonomi liberal mulai masuk ke Hindia---saat itu belum disebut Indonesia.

Sebelum berlakunya Opendeur Politiek, Belanda menerapkan model imperialisme kuno (ancient imperialism) di Hindia. Model kuno yang berlandaskan Gold, Glory, and Gospel (3G). Tendensi seperti ini hanya menguntungkan kerajaan dan agamawan semata. Oleh karena itu, kebijakan Opendeur ini akan diterapkan dengan terbukanya modal-modal swasta-asing untuk masuk ke Hindia, sehingga model yang digunakan ini adalah modern imperialism. Model ini kemudian dianggap lebih adil bagi para liberalis, setidaknya dalam bidang permodalan.

Latar belakang dari ditetapkannya Opendeur Politiek adalah dibubarkannya VOC, sehingga kekuasaan VOC di Hindia diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Kemenangan Partai Liberal Belanda pada pemilu 1850 pun menjadi faktor penentu Opendeur Politiek diberlakukan di Hindia, karena Partai Liberal Belanda berhak untuk menyusun kabinet dan menjalankan pemerintahannya. Selanjutnya, kemenangan mutlak yang diraih oleh Partai Liberal Belanda, menjadikan Politik Pintu Terbuka langsung berlaku di Hindia.

Politisi-politisi liberalis di Belanda tidak menyetujui Sistem Tanam Paksa yang selama ini diterapkan di Hindia. Politisi liberalis ini kemudian menginginkan supaya ada bantuan di tanah Jawa, sekaligus dapat meraup keuntungan dari masuknya perusahaan swasta. Dengan demikian, pada 1870, sistem tanam paksa dihapuskan, meski di luar Jawa masih berlangsung sampai tahun 1915.

Selanjutnya, pada tahun 1871, disahkannya perjanjian Sumatra dengan Inggris, sehingga Belanda dapat memperluas kekuasaannya sampai ke Aceh. Inggris yang terlibat dalam perjanjian itu, meminta kepada pemerintah Belanda untuk segera membayarkan utang-utangnya. Oleh karena itu, Inggris mengusulkan supaya Belanda segera membuka wilayah koloninya untuk modal asing, sehingga pengusaha asing dapat menanamkan modalnya di sana.

Selain itu, Inggris ingin pula menyebarluaskan kapitalisme dan liberalismenya ke berbagai belahan dunia, terutama di Jawa. Dengan alasan, Jawa adalah wilayah yang strategis dengan sumber daya rempah yang mumpuni. Belanda yang tak mau tertipu dengan Inggris, memberikan kebebasan kepada pemerintah Inggris untuk masuk ke Hindia, tetapi tidak boleh membeli tanah. Inggris hanya diperbolehkan untuk menyewa tanah tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya Belanda dapat mengontrol ekonomi Hindia lebih jauh dan berkaitan erat dengan "perang dagang" antara Inggris-Belanda.

Bung Karno pernah menjelaskan sekilas mengenai kebijakan Politik Pintu Terbuka di mana modal swasta dari banyak negara yang sudah masuk ke Indonesia, bahwasanya:

"... Sejak adanya opendeur-politiek, sejak itu, pertama di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia bukanlah lagi modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Prancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imeperialisme di Indonesia, mulai saat itu, adalah imperialisme yang internasional karenanya..."

Kebijakan ini ditujukan untuk: Pertama, menjadikan tanah jajahan di Hindia sebagai surga investasi modal asing. Semacam heaven country bagi para investor, persis seperti yang dilaksanakan oleh pemerintah sekarang. Kedua, mengubah fungsi tanah jajahan sebagai pemasok bahan mentah untuk pabrik-pabrik di Eropa. Ketiga, menempatkan tanah jajahan sebagai pasar penjualan barang-barang industri dan produk dari Eropa. Keempat, mendapatkan tenaga kerja upahan, yang berupah supermurah.

Pengaruh Revolusi Prancis

Prancis pada tahun 1789-1799 terjadi gelombang Revolusi yang mahadahsyat dan amat mempengaruhi dunia. Revolusi sosial di Prancis kemudian menjalar bagaikan api ke seluruh Eropa. Dengan dibangun di atas fondasi persekongkolan kaum pemodal yang sedang mekar-mekarnya dengan rakyat jelata, api Revolusi Prancis kemudian berhasil meruntuhkan tatanan monarki absolut Prancis yang bersekutu dengan kaum agamawan korup. Raja Louis XIV dan permaisurinya yang hedonis, Marie Antoinette, dipenggal di guillotine. Louis merupakan raja diktator, zalim, dan korup. Raja ini pernah mengumandangkan bahwa "Le etat c'est moi" (negara adalah aku).

Revolusi Prancis memiliki tiga slogan terkenal yang penuh makna hakiki, liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Semboyan ini pun menggerakkan revolusi itu. Spirit api Revolusi Prancis menjadi limpahan ide politik baru yang mempengaruhi Eropa, tak terkecuali Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline