Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Mengenang KAA 1955: Dasasila Bandung dan Jejak Perjuangan Antikolonialisme Asia-Afrika di Indonesia

Diperbarui: 15 November 2024   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: http://www.nehrumemorial.nic.in/en/galleries/photo-gallery/category/41-jawaharlal-nehru-with-foreign-dignitaries.html 

Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, Konferensi Asia-Afrika, ataupun juga kerap kali juga disebut sebagai Konferensi Bandung merupakan konferensi yang dihadiri oleh negara-negara di benua Asia dan Afrika, di mana bangsa-bangsa Asia-Afrika ini baru saja memperoleh kemerdekaan bangsanya dari belenggu penjajahan. Konferensi ini diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar, Sri Lanka (dahulu Ceylon), India, dan Pakistan.

Bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang baru memperoleh kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing yang menduduki wilayahnya sejak abad ke-15 pada kurun waktu 1940-an, antara lain: Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokratik Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Burma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Cina (1 Oktober 1949). Namun demikian, masih terdapat bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang masih berjuang dalam perjuangan kemerdekaannya, seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di wilayah Afrika lainnya. Tak hanya itu, masih ada wilayah bangsa yang telah merdeka, tetapi masih diduduki oleh penjajah pada masa itu, seperti Irian Barat (Papua Barat) oleh Belanda, Kashmir, Aden, dan Palestina.

Konferensi ini terjadi dalam alam Perang Dingin pasca-PD II, di mana pertarungan ideologi adidaya ingin mempengaruhi bangsa-bangsa yang baru merdeka, antara Liberalis-Kapitalis ala Amerika Serikat dan Sentralistis-Sosialis ala Uni Soviet. Situasi ini sungguh mengkhawatirkan dan menaikkan suhu hubungan internasional di antara bangsa-bangsa di dunia. Kepanasan situasi ini berkembang menjadi perang terbuka secara fisik di wilayah Semenanjung Korea---dengan dampak Korea terpecah menjadi dua negara hingga sekarang---dan di wilayah Indocina---dengan dampak Vietnam terbelah menjadi dua kubu hingga 1970-an.

Sebagai kesepakatan internasional untuk mengatasi permasalahan dan mewujudkan perdamaian dunia setelah PD II, para pemenang perang membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, kondisi yang bergulir dalam alam Perang Dingin tak bisa diselesaikan oleh seluruh perangkat yang ada dalam PBB. Dengan kondisi demikian, bangsa Asia-Afrika yang menjadi amat menderita akibat ketidakkondusifan situasi dan persoalan neokolonialisme ini. Oleh karena itu, Indonesia dengan bangsa Asia-Afrika lainnya ingin mempromosikan kerja sama di antara negara Asia-Afrika dan menjadikan antitesis tambahan terhadap dua ideologi yang berseteru. Asia-Afrika yang menemukan cahaya kemerdekaannya, ingin merdeka dan mandiri semandiri-mandirinya tanpa campur tangan bangsa asing.

Bermula pada tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala mengundang empat negara Asia dan Afrika, yaitu Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (Indonesia), Perdana Menteri U Nu (Burma), Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India), dan PM Mohammed Ali (Pakistan). Undangan PM Ceylon disambut hangat oleh para perdana menteri negara tersebut. Presiden Sukarno, sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengamanatkan kepada PM Ali Sastro untuk menyampaikan gagasannya mengenai diadakannya Konferensi Asia-Afrika pada saat berlangsungnya Konferensi Colombo tersebut. Presiden Sukarno memberikan alasan bahwa ini adalah semangat yang telah dipupuk sejak 30 tahun silam, saat di mana bangsa Asia-Afrika sedang melawan dan memperjuangkan kemerdekaannya.

Konferensi pendahuluan (Konferensi Kolombo)

Konferensi Asia-Afrika didahului oleh usaha pemerintah Indonesia untuk mempertemukan Kepala Perwakilan Indonesia di Asia, Afrika, dan Pasifik di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat, pada 9 -- 22 Maret 1954. Pertemuan ini ditujukan guna mengonsolidasikan rumusan masalah yang akan disampaikan delegasi Indonesia dalam Konferensi Kolombo. Oleh karena itu, pertemuan selama  lebih-kurang dua minggu ini menjadi dasar dari usulan bangsa Indonesia untuk memperluas gagasan kerja sama regional ke tingkat Asia dan Afrika.

Konferensi Kolombo sebagai konferensi pendahuluannya. Konferensi ini diselenggarakan sesuai namanya, di ibu kota Ceylon, Kolombo, pada 28 April -- 2 Mei 1954. Konferensi ini dihadiri oleh lima Perdana Menteri yang telah disebutkan pada alinea sebelumnya.

Konferensi Kolombo ini khusus membahas permasalahan di Indocina, sebagai bekal persiapan untuk menghadapi Konferensi di Jenewa. Selain itu, Konferensi Kolombo menyepakati secara aklamasi bahwa akan diadakan "Konferensi Asia-Afrika" dan pemerintah Republik Indonesia akan ditunjuk sebagai penyelenggara sekaligus tuan rumahnya. Usulan pemerintah Indonesia yang diterima oleh semua peserta konferensi ini masih dalam suasana keragu-raguan. Kemudian, konferensi ini memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan lainnya dan keputusan tersebut dimuat dalam bagian akhir hasil Komunike Konferensi Kolombo.

Kelanjutan sikap pemerintah Indonesia atas usulannya ini dilaksanakan melalui saluran-saluran diplomatiknya. Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan kepada 18 negara di Asia dan Afrika guna mengetahui kesesuaian mereka terhadap ide pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika. Respons yang menggembirakan ternyata diberikan oleh mereka, 18 negara ini memberikan sambutan yang baik atas usulan pemerintah Indonesia.

Pada 18 Agustus 1954, PM Jawaharlal Nehru menyampaikan kepada PM Indonesia tentang situasi dunia yang semakin gawat, sehubungan dengan usul untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika. Mengetahui bahwa PM India merespons seperti ini wajar sekali, sebab pada saat Konferensi Kolombo, PM India masih dalam keragu-raguan atas keberhasilan dari Konferensi yang mahabesar ini. Baru setelah PM India berkunjung ke Indonesia pada 25 September 1954, ia yakin benar betapa pentingnya diadakan konferensi persatuan seperti ini, sebagaimana tercermin dalam hasil pernyataan bersama pada akhir kunjungannya:

Para perdana menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili Negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah [yang dihadapi]. Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin.

Keyakinan serupa muncul juga dari PM Burma, U Nu, pada 28 September 1954.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline