Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Habibie dan Reformasi Demokrasi

Diperbarui: 20 Mei 2024   06:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bacharudin Jusuf Habibie, atau biasa disapa B. J. Habibie, merupakan Presiden Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto dari tampuk kekuasaan, karena derasnya arus tuntutan reformasi dari demonstrasi mahasiswa. Tepatnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Habibie resmi menggantikan Soeharto dari jabatan kepala pemerintahan di Indonesia, dari sejak saat itu juga agenda-agenda reformasi mulai dilakukan.

Habibie menjadi Presiden di saat Indonesia sedang mengalami transformasi sistem politik dan ketatanegaraan. Kita ketahui bersama, selama 32 tahun Indonesia menjadi negara otoriter dengan kuasa militer di bawah kekuasaan Jenderal (Besar) Soeharto. Dengan kemuakan rakyat terhadap rezim Soeharto ini, dinamika selanjutnya berangsur-angsur berubah lebih menuju negara yang lebih demokrais. Harapan mahasiswa dan rakyat, pada masa 1998-1999, adalah menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional dengan kekuasaan tertinggi terletak pada rakyat. Dengan demikian, wacana perwujudan Pancasila, yang lahir pada 1 Juni 1945, sebagai dasar negara dan falsafah menjadi lebih mudah dengan ditopan oleh tenaganya rakyat.

Pada masa jabatannnya yang terhitung singkat, Presiden Habibie mengeluarkan banyak kebijakan-kebijakan yang prodemokrasi dan tentunya sangat mempengaruhi negara Indonesia pada masa depan. Kebijakan itu juga yang membuat dirinya dikenal sebagai "Bapak Demokrasi", karena ia cukup berani untuk menetapkan kebijakan yang bisa dibilang sangat kontroversial, seperti membuka kebebasan pers, membebaskan tahanan politik, dan menyelenggarakan pemilihan umum yang terbuka.

Pers di masa Orde Baru benar-benar tertutup. Apa yang diberitakan adalah yang telah diperbolehkan oleh pemerintah dan hanya apa yang pemerintah ingin sampaikan kepada publik. Saat itu pula, pers seperti dipaksa untuk "manut" kehendak pemerintah sehingga opini-opini pemerintah harus dimasukkan dalam berita. Jurnalisme sebagai alat advokasi dan pembentuk opini publik yang pro-kepentingan publik, harus habis dalam kebijakan "pembredelan" pemerintah. Barulah, pada tahun 1999, Presiden Habibie menandatangani UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang baru tersebut menjadi tonggak kebebasan pers pada periodisasi Indonesia yang paling baru ini. UU ini menjadikan pers tidak bisa ditutup izinnya, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Jenderal Soeharto.

Tidak hanya kebebasan pers, Presiden Habibie sangat berjasa dalam pemberantasan praktik korupsi. Pada era Habibie memerintah, beliau menandatangi dua UU yang pada masa pemerintahan selanjutnya mulai direalisasikan, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua UU ini merupakan tanda perlawanan Habibie terhadap praktik korupsi yang kerap terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Menurut penulis, Presiden Habibie dapat dikatakan sebagai orang yang juga berjasa dalam pembentukan KPK pada pemerintahan Presiden Megawati, tanpa UU yang Presiden Habibie tanda tangani belum tentu ada tonggak awal komisi antirasuah dibentuk seperti sekarang ini.

Selanjutnya dari segi partai politik, sistem fusi partai yang pada masa pemerintahan sebelumnya dilaksanakan dirombak oleh Sang Bapak Demokrasi menjadi lebih demokratis. Presiden Habibie mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, undang-undang ini menyebabkan pemilu demokratis dilaksanakan dengan peserta yang mengikuti sebanyak 48 partai. Pemilu 1999 ini dikenal sebagai pemilu paling demokratis terdua setelah pemilu 1955 yang lalu.

Banyak sekali hal yang dilakukan oleh Habibie pada era kepemimpinannya yang sangat singkat. Ia berhasil membentuk Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, berhasil mengakhiri diskriminasi etnis tionghoa, mengadakan referendum untuk penentuan nasib sendiri di Timor Leste, serta membebaskan tahanan politik era pemerintahan Soeharto. Presiden Habibie mengeluarkan Keppres No. 85 Tahun 1998, melalui Keppres ini Presiden Habibie memberikan amnesti untuk tapol-tapol asal Timor Leste. Seiring berjalannya waktu, nama-nama aktivis prodemokrasi seperti Budiman Sudjatmiko, Sri Bintang Pamungkas, dan Muchtar Pakpahan juga dibebaskan oleh kabinet pemerintahan Presiden Habibie. Presiden Habibie pernah memberikan pernyataan yang menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang sangat-sangat mencintai iklim negara demokrasi dan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Ia berkata langsung pada Jaksa Agung setelah melantik Kabinet pemerintahannya.

"Sekarang (kamu) harus membebaskan semua tahanan-tahanan politik (yang) dipenjara. Penjara itu hanya untuk kriminal, (dan) bukan orang yang berpandangan lain. Dalam hal ini, mereka-mereka yang masuk penjara berdasarkan Keputusan MPR."

Bacharuddin Jusuf Habibie, 16 April 2019.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline