Lihat ke Halaman Asli

Takdir?

Diperbarui: 31 Agustus 2015   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

TAKDIR?

 

   Seperti hari-hari lain sebelumnya, dan mungkin sedikit sesudahnya. Seorang tua duduk dan memandangi tempat mobil-mobil menggelindingkan kaki-kaki mereka, memecah keheningan pagi yang masih belum sempat menyapa. Pagi sekali mereka berebut klakson, menutupi suara hembusan angin pagi. Jalanan dipenuhi orang-orang yang saling mendahului agar menjadi yang terdepan guna mengisi hari-hari mereka yang melelahkan. Begitu pula dengan para penyedia kebutuhan berkaki lima yang hendak mengais rupiah. Pagi buta mereka bersiap di tepi jalan, mempersempit luas aspal yang tersedia. Asap mengepul menghitamkan langit cerah, menyelimuti pencakar-pencakar langit. Tak luput asap kendaraan yang menyebar kesegala penjuru kota.

   Semuanya ingin diuntungkan, saling berebut sisa ruang yang ada agar tujuannya segera terpenuhi. Deretan panjang pun tak terkelakkan, aspal jalan tertutup tak terlihat seakan menjadi sesuatu yang harus ada di tiap pagi menjelang.  Memanaskan pagi yang masih menawarkan kesejukan. Tak ada satu pun yang bertindak. Semuanya terdiam bagai tak ada sesuatu yang aneh terjadi.

  Satu dua kedai makanan di belakang orang tua itu memulai aktivitasnya. Mengundang orang dengan suara radio yang menggema hingga ke seberang jalan.

  “….pemerintah dianggap lalai dalam mengatasi permasala…..”

  Tak begitu jelas terdengar oleh orang tua itu. Hanya satu-dua patah kata yang melintas di telinga yang berkurang kemampuannya akibat penuaan dan akibat sebuah benturan keras karena terhempas saat terkena tembakan roket.

  Seorang pemuda berbaju kusut bersepeda diantara hiruk-pikuk keramaian jalan, membagikan tumpukan kertas berisi komentar, kritikan, dan hujatan yang tiada memberi perubahan. Tiada pula memberi jera, hanya sebagai penghibur kaum-kaum tua yang belum bisa menerima perkembangan zaman.

   Lelaki tua itu tersenyum. Senyum getir yang mulai menghiasi wajahnya, setelah suara-suara radio itu mulai merasuk ke dalam telinganya, setelah ia meratapi tumpukan kertas yang terlempar tak jauh di depannya. Senyum pahit yang mungkin hanya dapat dimengerti segelintir orang mengenai artinya.

   “Ah, masa-masa itu…”

***

   Langit mendung dengan asap mengepul. Debu-debu di jalanan beterbangan tertiup angin. Gedung-gedung kusam berdiri kokoh di pinggir jalanan lenggang. Jam yang tergantung di tengah perempatan masih menunjukkan pukul 6.30 pagi. Beberapa kotak baja dengan roda-roda gerigi mereka telah memenuhi jalanan dengan moncong senjata mengarah ke udara. Diikuti di belakangnya oleh puluhan pria berbadan tegap berseragam serta bersenjata. Mereka berbaris rapi, dengan sedikit berlari kecil. Jalanan penuh untuk beberapa saat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline