Janus, itulah namaku. Janus si Pedagang Roti, itulah panggilan yang lekat padaku.
Ya, sudah lama aku hidup seorang diri. Yatim piatu, anak semata wayang.
Baru saja “orang-orang sabit” itu muncul di depan Hagia Sophia sepekan lalu, menjanjikan kebebasan beribadah walau kekuasaan kota sekarang dipegang oleh kumpulan orang......Turki, ya, jika aku tak salah?
Ya, “Kekaisaran” Turki. Prajuritnya berseragam merah dan pemimpin pasukan memakai surban putih. Lambang sabit selalu berada entah di seragam atau bendera mereka.
Kalian, para pembaca kisah ini, mau mendengar pendapatku mengenai keberadaan mereka, ya? Baiklah, aku bicara jujur saja pada kalian: Rasanya rumit untuk membahas mereka.
Di satu sisi, mereka adalah orang-orang yang membunuh Ayahku. Beliau seorang pemanah tembok dan menurut kabar yang ada, beliau ditebas habis oleh pedang pasukan “orang-orang sabit” dengan keji. Siapa yang takkan marah begitu tahu anggota keluarga mereka dibunuh orang?
Di sisi lain, mereka adalah satu-satunya pihak yang peduli kepada masyarakat kecil, terutama yatim piatu dan kaum papa. Aku adalah salah satu orang yang diuntungkan dari segi ekonomi akan kehadiran mereka, merekalah yang membayar hutangku pada Immanuel si lintah darat. Dia selalu memaksaku membayar ‘upeti’ lebih tinggi dari jumlah yang kupinjam.
Pinjaman terakhirku 3 bulan sebelum pertempuran adalah 20 drachma untuk modal usaha. Kemudian, dia ‘memintaku dengan baik hati’ untuk membayar hutang sebesar 200 drachma, sepuluh kali dari apa yang harusnya kubayar hingga daganganku selalu dibuang olehnya tiap kali aku meminta keringanan pembayaran darinya.
Sebagai catatan, aku terpaksa berhutang saat itu karena Ayahku belum mendapatkan gaji dari pekerjaannya dan uang hasil dagangku serta adonan rotiku dicuri entah oleh siapa. Gilanya lagi, pihak Kekaisaran Bizantium tak pernah mengusut tuntas sebagian besar kasus kejahatan di dalam daerah kekuasaannya.
Sekarang, aku tengah meletakkan roti yang sudah kubuat di etalase toko. Aku selalu melakukan ini pada pagi hari sebelum mentari bersinar cerah di kota. Toko tua yang sudah berdiri selama tiga tahun ini berada di dekat Hagia Sophia, sekarang sebuah masjid penuh dengan orang untuk ritual ibadah bernama ‘Shalat Shubuh’.
Usai melaksanakan ritual ibadah mereka, sebagian pengunjung masjid mendatangi tokoku. Sejujurnya, aku tak pernah memercayai ‘orang-orang sabit’. Tetapi, di sinilah awal kebingunganku. Warga asli, terutama pihak Kekaisaran Bizantium, di sekitar sini selalu berkata bahwa ‘orang-orang sabit’ adalah kumpulan penjarah keji yang akan membunuh mereka semua suatu saat nanti karena agama yang mereka anut.