Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Daffa Argawa

Undergraduate Economics Degree

Pendidikan yang Semakin Mahal: Antara Semangat Kebangkitan Nasional dan Kenyataan Pahit

Diperbarui: 31 Mei 2024   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

20 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pada tanggal 20 Mei 2024 ini terasa semakin getir. Dalam kenangan semangat para pahlawan muda yang berjuang untuk memerdekakan bangsa, generasi muda masa kini menghadapi kenyataan pahit: biaya pendidikan yang semakin melambung.
Di masa lalu, semangat Kebangkitan Nasional didorong oleh keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Para pahlawan muda berjuang tanpa kenal lelah demi masa depan yang lebih baik. Namun, ironisnya, kini generasi muda harus berjuang menghadapi tantangan yang berbeda seperti mahalnya biaya pendidikan yang kian tak terjangkau bagi banyak kalangan.

Kondisi ini memaksa banyak orang tua dan siswa untuk memutar otak mencari cara agar tetap bisa mengakses pendidikan yang layak. Beberapa terpaksa berhutang atau bekerja sambilan demi membayar biaya sekolah atau kuliah. Pendidikan yang selayaknya menjadi hak yang mendasar bagi setiap warga negara, kini tampak seperti barang mewah yang sulit dijangkau.

Dalam suasana Hari Kebangkitan Nasional ini, penting bagi kita semua untuk merenungkan kembali makna dari perjuangan para pahlawan. Bagaimana kita bisa mewujudkan semangat mereka dalam konteks saat ini? Apakah mungkin untuk memperjuangkan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat? Tantangan ini membutuhkan perhatian dan kerja nyata dari seluruh elemen bangsa.

Biaya pendidikan yang tinggi menjadi hambatan besar bagi banyak orang, fokusnya mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu secara finansial. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2022, kelas menengah di Indonesia hampir 114,7 juta jiwa, atau sekitar 44 persen dari total populasi. Fakta ini menggambarkan bagaimana biaya pendidikan yang mahal dapat menghambat kesempatan bagi banyak individu untuk mengakses pendidikan yang berkualitas, meskipun jumlah kelas menengah terus bertambah.

Mahasiswa dari keluarga miskin memang mendapatkan pembebasan biaya pendidikan, namun jumlah penerimanya terbatas. Beasiswa untuk keluarga miskin melalui program KIP Kuliah hanya diberikan kepada mereka yang terbukti berasal dari keluarga kurang mampu. Meskipun program ini sangat membantu, tidak semua mahasiswa yang memerlukan bantuan dapat menerimanya, karena keterbatasan kuota dan persyaratan yang ketat. Sebagai hasilnya, banyak mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang masih terus berjuang untuk membiayai pendidikan mereka sendiri.

Bagi kalangan kelas menengah, meskipun mereka tidak tergolong miskin, tetap menghadapi kesulitan dalam membiayai pendidikan. Situasi ini disebabkan oleh biaya pendidikan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang harus dibayar oleh keluarga miskin. Keluarga miskin sering kali mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah dan lembaga sosial, sedangkan kelas menengah tidak memenuhi syarat untuk bantuan tersebut, sehingga mereka harus menanggung beban biaya penuh. Akibatnya, banyak keluarga kelas menengah yang merasa terjepit dan harus mengorbankan aspek lain dalam kehidupan mereka untuk merealisasikan kehidupan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak.

Kesenjangan biaya pendidikan semakin diperburuk oleh kebijakan "subsidi silang" di perguruan tinggi. Dalam kebijakan ini, mahasiswa yang mampu diharuskan membayar biaya pendidikan lebih tinggi. Dana tambahan ini digunakan untuk mensubsidi biaya pendidikan bagi mahasiswa yang kurang mampu.

Kebijakan ini menimbulkan berbagai pandangan di masyarakat. Bagi sebagian pihak, subsidi silang dianggap sebagai upaya yang adil untuk memastikan semua mahasiswa memiliki akses ke pendidikan tinggi. Namun, bagi pihak lain, kebijakan ini dinilai membebani mahasiswa yang mampu secara finansial dan berpotensi meminimalisir minat mereka untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Alhasil, isu ini menjadi topik perdebatan yang terus berkembang di kalangan akademisi dan masyarakat luas.

Kebijakan ini memang memberikan bantuan bagi mahasiswa yang kurang mampu, namun di sisi lain, kebijakan ini juga membebani mahasiswa yang lebih mampu secara finansial. Dampaknya, banyak mahasiswa merasa dirugikan oleh kebijakan ini dan menyuarakan ketidakpuasan mereka. Sebagai bentuk protes, mereka mengadakan aksi demonstrasi untuk menuntut penurunan biaya pendidikan. Aksi-aksi ini mencerminkan keresahan yang meluas di kalangan mahasiswa, yang merasa bahwa kebijakan yang ada belum sepenuhnya adil dan seimbang. Mereka menuntut solusi yang lebih inklusif dan memperhatikan semua lapisan mahasiswa tanpa terkecuali.

Di tengah situasi ini, penting bagi kita untuk kembali menghayati semangat Kebangkitan Nasional. Pada masa itu, para pahlawan muda berjuang melawan penjajah dengan semangat yang berkobar dan sikap pantang menyerah. Mereka menghadapi berbagai tantangan dan rintangan tanpa gentar, demi memperjuangkan kemerdekaan dan masa depan yang lebih baik.

Semangat heroik mereka seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi kita semua. Kita perlu meneladani tekad mereka dalam upaya mendapatkan pendidikan yang memiliki kualitas tinggi dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan semangat yang sama, kita harus berjuang keras untuk meyakinkan bahwa setiap orang memiliki akses yang setara terhadap pendidikan, tanpa terbentur oleh mahalnya biaya yang menjadi kendala utama saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline