Lihat ke Halaman Asli

Patriarki dan Stereotip: Mengurai Benang Kusut Ketidaksetaraan Gender di Indonesia

Diperbarui: 4 Juni 2024   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indeks Ketimpangan Gender (GII), Sumber: UNDP United Nations Data.

Kesetaraan gender merupakan isu penting dalam upaya mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan mewujudkan masyarakat yang adil serta inklusif. Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman budaya dan tradisi yang kaya, masih menghadapi tantangan dalam mewujudkan kesetaraan gender secara menyeluruh. 

Meskipun terdapat kemajuan dalam peningkatan kesetaraan gender di tanah air, tidak dapat dipungkiri jika kesadaran masyarakat yang merupakan prioritas utama dalam mencapai penerapan kesetaraan masih rendah. Isu kesetaraan gender masih menjadi isu krusial yang harus diberikan perhatian utama oleh pemerintah agar hak asasi manusia dapat dirasakan dengan adil oleh semua golongan masyarakat.

Berdasarkan data United Nations Development Programme, Indeks Ketimpangan Gender Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2022, Nilai GII Indonesia yang dikeluarkan oleh UNDP berada di angka 0.388, angka tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia belum berjalan dengan baik. Selain itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia masih cukup rendah dengan nilai 52.5%, hal ini berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi Angkatan kerja laki-laki yang berada pada indeks 81.5%.

Penerapan kesetaraan gender merupakan hal yang sulit diterapkan pada masyarakat Indonesia. Terdapat tantangan implementasi yang masif untuk dihadapi dalam menghadapi ketidaksetaraan gender, budaya patriarki dan stereotip tradisional merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi dalam kemajuan pembangunan gender. Nilai-nilai budaya tradisional yang telah mengakar selama berabad-abad telah membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat yang seringkali membatasi peran dan hak-hak gender tertentu.

Budaya patriarki yang mendominasi banyak kelompok masyarakat di Indonesia menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama dalam keluarga maupun masyarakat. Perempuan seringkali dianggap sebagai subordinat dan memiliki peran yang terbatas, terutama dalam ranah domestik. 

Pandangan ini tidak hanya membatasi kebebasan dan pilihan hidup perempuan, tetapi juga menciptakan hambatan bagi mereka untuk berkontribusi secara penuh dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Stereotip gender yang masih kuat dalam masyarakat Indonesia juga menjadi penghalang besar bagi kesetaraan. Perempuan seringkali dianggap lebih lemah, kurang mampu, dan lebih cocok untuk tugas-tugas domestik daripada peran kepemimpinan atau pekerjaan yang dianggap "maskulin". 

Sementara itu, laki-laki dianggap lebih rasional, kuat, dan cocok untuk menjadi pencari nafkah utama. Stereotip ini membatasi peluang pendidikan, pekerjaan, dan karir bagi perempuan, serta memperkuat diskriminasi di berbagai sektor. 

Stereotip gender juga berkontribusi pada kuatnya stigma terhadap kekerasan berbasis gender dan masalah-masalah lain yang dihadapi perempuan. Korban kekerasan seringkali disalahkan dan dianggap sebagai penyebab masalah karena tidak mematuhi norma-norma sosial yang berlaku. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan kurangnya akses keadilan bagi perempuan.

Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan upaya sistematis dan berkelanjutan dalam mendekonstruksi budaya patriarki dan stereotip gender yang merugikan. Pendidikan dan kampanye kesadaran masyarakat memegang peranan penting dalam mengubah pola pikir dan norma-norma sosial yang diskriminatif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline