“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (UUD 1945, Pasal 28H Ayat 1)
Sudah nasib kepalang tanggung, menjadi penduduk di wilayah berkembang yang masih berjalan mundur mindset dan pola pikir masyarakatnya. Mengurus yang kecil mengabaikan yang besar.
Di tanah kami, dipojok kota kami, sampah dan bangkai menjadi hiasan dan sapaan selamat datang jelang masuk di kota kabupaten. Impian mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanah konstitusi hanya dijadikan pajangan belaka.
Bayangkan, popok - popok bayi bertebaran dimana - mana. Diselokan, didalam rumpun pisang, dibawah kolong jembatan dan ditepian jalan raya. Duhai, betapa modernnya kita hingga lupa akan etika dan tata krama untuk menghormati lingkungan.
Mungkin anda akan tercengang setelah menginjakkan kaki disini. Ketika tersuguh narasi kontroversi atau sedikit mengkritisi, anda dianggap barisan patah hati. Jangan harap bakal subur berkarir jika anda mencoba menyuarakan kebenaran dengan sedikit lantang.Ketika Corona menyapa melalui media, trauma masyarakat difasilitasi dengan baik.
Dengan gencar dan semangat berkobar menyuarakan pentingnya menjaga pola hidup sehat agar terhindar dari wabah yang tengah menuai tragedi seluruh bangsa di Dunia. Sementara itu mereka lupa bahwa ada hal lain tentang tindakan langsung menjaga kesehatan bersama telah diabaikan.
Bayangkan, apa kesan anda ketika hendak memasuki sebuah kota namun disambut oleh aroma bangkai di kawasan pembuangan sampah ilegal yang diwajarkan. Padahal situasi seperti ini menggambarkan mental dan psikologi penduduk kota yang hendak dimasuki. "Secara subjektif pengendara yang melintas bisa mengartikan bahwa isi dari kota yang menyambut mereka dengan aroma bangkai binatang dan bau amis sampah ini dinominasi oleh orang - orang yang kurang bersih dan tidak mampu merawat lingkungannya".
Bayangkan saja, Dewan yang dipercaya mampu mengakomodir aspirasi rakyat saja cuci tangan dengan persoalan ini. Padahal fenomena menjijikkan ini bisa saja diartikan sebagai gambaran samar - samar dari Psychology and characterism of Governance. Bahkan hingga detik ini, tidak ada satupun langkah kongkrit yang dimunculkan untuk penanganan masalah urgent ini.
Karskteristik sebagian aktivis lingkungannya-pun tidak jauh berbeda seperti ikan lumba - lumba ketika bergurau dengan arus. Timbul dan tenggela. "Timbul ketika pesta demokrasi di depan mata dan tenggelam ketika tarif gerakan sudah diATMkan". Lantas ketika pembiaran ini terus berlanjut, akankah masyarakat sewaktu - waktu tidak mungkin bertindak diluar kendali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H