Lihat ke Halaman Asli

PKS dalam Masalah

Diperbarui: 20 Desember 2016   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.change.org

Saat Anis Matta tersingkir, sebetulnya Fahri Hamzah sudah selesai. Tidak perlu ada pecat-pecatan. Praktis, Fahri Hamzah cuma tersisa sebagai pimpinan DPR. Selebihnya, tamat. Tak ada di kepengurusan, juga fraksi. Mestinya cukup. Ternyata tidak. Kubu-kubuan lebih dalam tergores.

Ada dendam, sakit hati dan entah apa lagi? Fahri Hamzah dicabut hingga akar. Kesalahan yang disusun sebagai landasan pemecatan hanya sekadar pemenuhan syarat belaka. Tak ada yang betul-betul kuat. Makanya, mudah saja bagi Fahri Hamzah menggugat dan menang di pengadilan.

Memang, baru di tingkat pengadilan negeri. Masih bisa di pengadilan tinggi, MA, bahkan, Peninjauan Kembali. Tapi, dalam politik, itu sudah selesai. Terburu-buru, seperti mengejar terget. Tak ada perhitungan matang. Mencetak kader susah-susah, memecatnya seperti buang angin saja.

Bila sekadar soal politik, mestinya bisa didiskusikan. Golkar saja gonta-ganti Ketua DPR, cincai-cincai saja, tak ada gaduh. PKS, kok sulit amat? Apakah ketaatan Ade Komarudin berbeda dengan Fahri Hamzah? Mestinya soal politik, tak perlu ditarik terlalu dalam, soal ketaatan agama.

Golkar sukses, karena semua sudah diajak bicara. Termasuk, Megawati dan Jokowi. PKS, jangankan orang lain, kadernya saja tak mau diajak berunding. Lalu, menginginkan proses kayak Golkar? Golkar tak ada main pecat. Hilangnya kursi Ketua MKD, adalah bukti. PKS sangat kaku.

Bahkan, Fahri Hamzah yang sudah menang pun, masih dianggap salah. Pemecatan sudah final. Fahri Hamzah yang harusnya meminta maaf! Mungkin juga sambil cium tangan dan nangis-nangis. Kayak hidup di zaman kerajaan saja. Dengan cara itu mengelola negara, siapa yang mau?

Kosa kata yang acap dipakai, soal fatsun politik. Jangankan soal Fahri Hamzah, soal kursi MKD yang hilang pun, muaranya fatsun politik. Partai-partai lain harus mengembalikan kursi itu, karena fatsun politik. Itu milik PKS. Seruan islah Fahri Hamzah ditolak, sebab fatsun politik juga.

Termasuk, soal pilgub DKI kenapa harus mencalonkan Anies-Sandi yang tak seorang pun kader PKS? Padahal, sebelumnya gagah berani mendeklarasikan Sandi-Mardani. Kenapa muncul nama Anies yang tak pernah tercatat berkomentar positif soal PKS? Muaranya fatsun politik juga.

PKS ingin mengajarkan bahwa mencalonkan orang dalam pilkada tak harus kader sendiri. Tapi, dicari yang terbaik. Meskipun, itu berasal dari lawan politik. Tak ada istilah dendam politik. Tapi, sayangnya, itu tak berlaku sama di tiap-tiap daerah. Malah, terhadap kader sendiri saja sulit.

Apa-apa, dikaitkan fatsun politik, itu habis main mah. Fatsun politik sekadar pembenaran saja. Tanda ketidakmampuan. Dengar-dengar, tak terpilihnya kader PKS, ketika pemilihan wakil gubernur di Sumut, mau digasak pula soal fatsun politik. Itu punya PKS, karena dulu, pemenang.

"Fatsun politik dari Jepang, "kata calon yang menang. Memang kader PKS duduk sebagai gubernur, tapi ditangkap karena kasus korupsi. Maka, wakil gubernur naik sebagai gubenur. Dan, wakil gubernur dipilih DPRD, sesuai usulan parpol pengusung. Kader PKS tak terpilih, mau apa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline