Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Pengusiran Wartawan

Diperbarui: 6 Desember 2016   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: www.mahasiswa-indonesia.com

Ekspresi Rifai Pamone kecut ketika sekelompok orang tiba-tiba berteriak-teriak, mengacungkan jempol ke bawah, bahkan mendorong punggungnya hingga tubuh wartawan berpostur tinggi tersebut terjajar ke depan. Rifai tentunya tidak nyaman dan terganggu, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa.

Perlakuan yang diterima wartawan Metro TV tersebut terekam dalam sebuah video yang tersebar luas di publik. Rifai dengan terpaksa meninggalkan lokasi liputannya pada Aksi 212 yang dipusatkan di Monas, Jakarta, 2 Desember 2016 lalu, demi alasan keamanan. Singkatnya, wartawan Metro TV itu diusir.

Pengusiran itu memicu reaksi dari orgaFnisasi profesi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi ini mengecam keras tindakan intimidasi, penghalang-halangan, dan pengusiran atas pekerja pers.

Ketua AJI Suwarjono menyatakan, ini merupakan pelanggaran serius terhadap kerja jurnalistik dan perbuatan pelanggaran hukum sehingga layak untuk dipidanakan dan diproses hukum. Aksi penghalangan kerja jurnalistik mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi yang terkait dengan kepentingan publik (Merdeka.com, Sabtu/3 Desember 2016).

Menurut Suwarjono jika ada pihak-pihak yang tidak puas atas pemberitaan media massa, bisa langsung protes ke media yang bersangkutan dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi dan menyampaikan pendapatnya. Apabila tidak puas dan ada dugaan pelanggaran etik, bisa melaporkan ke Dewan Pers.

Tindakan kekerasan terhadap wartawan bukanlah hal baru. Tindakan-tindakan brutal untuk pekerja pers nyaris sama tuanya dengan profesi itu sendiri. Tetapi jika melihatnya secara kasuistik, tindakan pengusiran yang dialami Rifai Pamone perlu dilihat paling tidak dari dua dimensi.

Pertama, kasus pengusiran Rifai Pamone terpicu oleh laporan pandangan matanya tentang jumlah peserta aksi yang memadati Lapangan Monas. Berdasarkan video itu, sepertinya Rifai menyebut angka 50.000 yang lalu diprotes oleh seseorang.

Mungkin saja angka 50.000 yang disebutkan Rifai adalah suatu jumlah yang besar menurut dia. Tapi bagi peserta aksi itu merupakan laporan “meremehkan” dan “pembohongan” terhadap fakta sesungguhnya.

Kasus wartawan Metro TV ini sama seperti seorang suporter sepak bola yang mengenakan jersey Tim A dengan seluruh atributnya, lalu berada di tengah-tengah suporter Tim B. Ketika seorang pemain Tim B terjatuh karena dilanggar oleh pemain Tim A dan berakibat kartu kuning, suporter tadi berteriak nyaring, “Wasit curang!”. Untuk ukuran sepak bola di Indonesia, saya tidak berani mengatakan bagaimana nasib suporter itu.

Tidak berarti bahwa pengusiran terhadap wartawan atau indikasi bahwa suporter sepak bola tadi bakal dibabakbeluri, merupakan tindakan yang dibenarkan. Tapi poin pentingnya adalah doktrin utama seorang pekerja pers adalah mengutamakan keamanan diri.

Seorang reporter yang berada di tengah-tengah massa yang dia sadar bahwa identitas yang melekat padanya tak begitu disenangi, tentunya perlu melipatgandakan kehati-hatiannya dalam menyampaikan laporan pandangan mata, apalagi menyangkut soal data.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline