Dewasa ini, merebaknya pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease 19) atau lebih lazim disebut virus korona menjadi perbincangan serius pada seluruh elemen masyarakat dunia. Tentunya stabilitas dunia mulai dari yang meliputi aktivitas ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya ikut merasakan keguncangan akibat dampak dari wabah tersebut.
Segala bentuk upaya telah dilakukan oleh para pemangku kebijakan untuk mencegah meluasnya virus mulai dari aktivitas yang dilock down, penyemprotan disinfektan, pembatasan aktivitas akomodasi dan transportasi.
Juga tempo hari yang masih hangat jadi pembahasan krusial para milenial di jagat sosial media, mengenai letak perbedaan pelarangan mudik tapi bisa pulang kampung, akan tetapi bukan persoalan perbedaan nama yang perlu disorot namun yang menjadi substansi disini adalah penyebaran virus itu sendiri mudik ataupun pulang kampung akan tetap berpotensi besar memicu penyebaran virus yang tak terlihat.
Tentu saja ini akan menjadi cerita unik yang menghiasai perkembangan negara kita tercinta. Ada yang cepat tanggap dalam penanganan, ada yang lambat bahkan masih ada juga yang membuka kran lalu lalang dari luar negeri.
Dikarenakan hal seperti ini tidak bisa kita remehkan begitu saja, mengingat dampak panjang yang akan terjadi maka pemerintah telah menggelontorkan dana yang cukup fantastis hingga memotong beberapa dana dari institusi besar sampai terkecil pada skala desa untuk meminimalisir dan mencegah luasnya penyebaran virus.
Namun masih belum menyentuh seutuhnya pada strata sosial kalangan menengah kebawah, yang cukup terganggu dengan adanya pembatasan sosial skala besar (PSBB).
Sebut saja kaum tani, kaum buruh, rakyat miskin kota yang menjerit merasakan pembatasan aktivitas yang kerap di bahasakan oleh para milenial dengan tetap "dirumah aja".
Menjadi ketimpangan tersendiri bagi kaum tersebut, yang beberapa diantaranya memiliki penghasilan yang tidak tetap dan tak dapat memenuhi kecukupan hidup jika berdiam diri dirumah mengikuti instruksi para pejabat.
Mereka kaum elit mungkin bisa saja tinggal hingga beberapa hari kedepan dalam waktu yang cukup lama dengan masing-masing simpanannya. Hari ini refleksi 1 Mei sebagai peringatan hari buruh sedunia, kita tak lagi melihat aksi demonstrasi yang kerap dilakukan oleh semangat juang pekerja buruh dan kelas menengah kebawah, guna menyampaikan aspirasinya.
Terjadi ratusan bahkan ribuan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semenjak pandemi Covid-19 merajalela. Jumlah pengangguran meningkat signifikan dalam beberapa waktu terakhir.
Selain mempengaruhi kehidupan sosial, juga menjadikan sektor ekonomi tertekan dan mengancam terjadinya krisis yang makin mencekam. Mengingat satu peribahasa yang menjadi prinsipil karakteristik orang Makassar "bajikangngangi mate acceraka namate kacipuranga".