Jelang siang di Kepulauan Seribu. Dua pria berkulit putih berjalan ke pantai Pulau Pari. Seorang perempuan berambut pendek, berbikini, ada di antara mereka. Di dekatnya nampak pula kerumunan 'bule' dengan pakaian minimalis.
Pria yang lengan kanannya dirambati tattoo membetulkan letak baju serupa piyama tembus pandang yang membalut perempuan itu. Si perempuan berdiri mematung, pria lainnya berdiri di depannya sembari ikut membetulkan pakaian si perempuan.
Puluhan pasang mata memandangi tingkah pola ketiganya. Tidak lama, salah seorang pria melenggang, mengangkat tangan dan meloncat di atas pasir dengan gemulai. Dia menggamit tali ayunan dan melepas tawa.
Ketiganya adalah pengunjung Pulau Pari, tepatnya kawasan pesisir utara yang berjuluk Pasir Perawan.
Di sisi barat, di atas hammock, pria tua yang mengaku bernama Nihin duduk sembari selonjorkan kaki.
"Balik kapan? Naik perahu saya yuk," ajaknya saat saya menghampirinya. Senyumnya sekadarnya.
"Noh yang di dekat bebek-bebek," tambahnya sembari mengayunkan hammock seperti hendak meyakinkan.
Di dekat Nihin terdapat beberapa perahu alat tangkap ikan dari jaring sebagai tanda bahwa di pulau itu aktivitas nelayan tetap digeluti.
Menurut cerita, warga sebagai besar warga Pari adalah generasi dari Pulau Tidung, juga Tangerang. Mereka ada di situ sekira tahun 60-an. Sebagaimana dibenarkan Nihin.
Dia tersenyum saat saya menjawab baru sampai dan hanya hendak melihat-lihat sisi pulau.
"Kita mah gini aja, nunggu pengunjung yang mau naik perahu, keliling," kata pria berumur 60 tahun ini sembari menunjuk perahu yang lewat dan membawa 3 penumpang. Dia mengaku kelahiran Tangerang dan tinggal bersama anaknya di Pulau Pari.