Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Kita dan Muara Aliran Oei

Diperbarui: 1 Mei 2016   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanda kuburan di Kodingareng (Foto: Kamaruddin Azis) 

Haji Samsu dan Hajjah Ling adalah dua nama yang oleh Johrah Daeng Sompa, ibu saya, kerap disebut dan dibanggakan. Keduanya tinggal di Lanna’, kawasan di Galesong penghasil banyak pengusaha. Rumah keduanya sepelemparan batu dari kediaman Daeng Tora’ dan Halimah Daeng Te’ne, kakek nenek saya. Bapak dan ibu berteman keduanya. Samsu dan Ling, pengusaha perikanan tersohor di Galesong Raya, Kabupaten Takalar, Sulawesi sejak tahun 70-an.

Lahir dan besar di Galesong, membuat saya sadar bahwa di lingkungan kami berinteraksi keturunan Tionghoa adalah hal lumrah. Tiada yang beda, pun ganjil. Setidaknya itu yang kami rasakan kala bermain bola, bermain enggo atau bersepeda bersama keluarga Baba’ Guru di lapangan bola Galesong. Kami cair dalam obrolan layaknya anak-anak. Kedekatan keturunan Tionghoa di pusat kerajaan Galesong rupanya tak terjadi dengan sendirinya. Karaeng Galesong pernah mewakafkan tanah di halaman Balla Lompoa untuk pendatang Tionghoa dari Tallo.

***

Nun jauh di seberang Galesong, dipisah oleh Selat Makassar, di Kodingareng Lompo betah di wilayah administrasi Kota Makassar saya membaca tulisan: OEI SENG KIEM. OEZIA 54 TAHOENG. MENINNGGAL 26.5.20. PAPANJA KIN TJENG. -- PAPANJA KIN TIOE NIO.  Rupanya ada kuburan keturunan Tionghoa di sini. Dari manakah dan kapankah keluarga Oei pertama kali menjejak Pulau Kodingareng Lompo? Pada situasi apakah gerangan kala kaki keluarga Oei menyapa pasir pulau di barat laut Kota Makassar ini?

Gaffar dan Kahar, dua sahabat yang menemami ketika berkunjung ke pulau itu di tanggal 20 April 2016 tak bisa menjawabnya. “Tapi masih ada saudara mertua saya mungkin tahu ceritanya,” kata Gaffar. Gaffar mengaku istrinya adalah keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di pulau berpenduduk hingga 5 ribu ini.

Rinai menjadi selingan di percakapan kami sore itu. Kami berteduh di bawah perpustakaan mini yang dikelola Gaffar. Ada 300 ribuan koleksi buku menjadi pajangannya. Persis di depan kiosnya. Istri Gaffar terlihat keluar masuk kios itu. Sesekali menyapa warga yang lewat atau mampir membeli sesuatu.

“Di sini, sebagian besar keturunan Tionghoa yang ada dari Marga Oei. Termasuk keluarga istri saya,” kata Gaffar.  Menurut Gaffar, keturunan Tionghoa amat banyak di pulau ini.

Masih di pulau itu. Apa yang disebutkan Gaffar ini dibenarkan dari membaca raut wajah beberapa warga yang mengaku keturunan Tionghoa seperti Haji Ilyas, usia 60-an tahun yang mengaku datang dari Pulau Sarappo dan telah tinggal puluhan tahun di Kodingareng Lompo. Demikian pula Haji Usman, pengusaha yang pernah mengongkosi Kahar berkelana laut Nusantara menjadi parengge.

“Peninggalan Tionghoa sangat banyak di sini, termasuk foto-foto dari keluarga istri saya. Ada juga kuburannya. Bisa dilihat di dekat lapangan,” tambah Gaffar.  Menurut Kahar, di dekat lapangan Kodingareng itu dulunya banyak kuburan model milik Tionghoa, namun tergusur karena digunakan wahana bangunan PLN atau untuk kepentingan publik. Kuburan dan isinya ada dinaung bangunan baru.

***Tulisan Oei Seng Kiem. Oezia 54 Tahoeng. meninnggal 26.5.20. Papanja Kin Tjeng. -- Papanja Kin Tioe Nio. Itu salah satu bukti yang terlihat dari salah satu kuburan tersisa di tanah Lapang Kodingareng Lompo.  Ada pula kuburan lainnya, meski terlihat lebih besar namun menyedihkan. Semak belukar merambat. Mereka menjalar mendaki sisi kuburan yang tergolong besar dan seharusnya megah itu. Di batu serupa nisan terpahat jelas huruf Tionghoa yang tak saya pahami artinya. Tulisan ini terusik tulisan merah besar ANPIJA. Seperti tulisan yang lahir dari keisengan dan mungkin kebencian beralas ketidaktahuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline