Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Syarat Mutlak Reklamasi (Refleksi dari Makassar)

Diperbarui: 5 April 2016   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: tribunnews.com"][/caption]"Untuk mempercantik pulau, menata seperti pantai-pantai indah di luar negeri, tak perlu ambil batu karang lalu bangun rumah batu. Hadapkan tangga rumah kita ke pantai, pantai akan terawat dengan sendirinya,” ujar Malik B. Masry, mantan Wali Kota Makassar di Pulau Barrang Caddi, 1997.

Refleksi dari Makassar
Malik gamang melihat pesisir Makassar saat itu. Ada yang inspiratif dari gaya kepemimpinan Malik. Dia sangat ingin menata Losari, tapi juga tetap respek pada warganya. Lantaran ingin melihat Losari baik menurut perspektif warganya, dihelatlah sayembara disain Losari. Sayembara itu tak membuahkan hasil. Warga enggan mengubah konstruk Losari. Tiada konflik di situ hingga Malik pergi.

Wali kota berikutnya, Maula, sukses memboyong pulang nama Makassar setelah sebelumnya bernama Ujung Pandang. Makassar sendiri merupakan akumulasi makna dari ‘Makkasara’ atau yang eksis dan benar. Dengan nama itu, sejarah dipertaruhkan; antara mempertahankan kekhasan Makassar pada tradisi sosial-budaya menjadi etalase ekonomi, layaknya kota modern, seperti saat ini, saat mesin-mesin dan tiang pancang mengangkangi pesisir barat Kota Daeng melalui reklamasi yang kian bablas.

“Kita bangun Makassar sebagai kota jasa,” kata Ilham A. Sirajuddin, wali kota setelah Maula. Di masa Ilham, aktivitas reklamasi pantai Losari hingga selatan kota meluas meski beberapa ahli Kelautan Makassar dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, belasan tahun silam mengingatkan tren degradasi biologi di muara Jenebereng, Tallo dan perairan Losari. Ratna M. Manikam, peneliti lainnya mengatakan; meski bermanfaat, reklamasi rentan berperkara. Reklamasi bisa berdampak kompleks pada keterkaitan fungsi oseanografi, drainase kota dan dampak abrasi di wilayah sekitarnya.

Jika kita bertanya pada orang-orang tua kita, mereka pasti tahu apa itu Lelong Rajawali, Losari, Kayu Bangkoa, Jambatang Bassia, Rotterdam, Paotere hingga Untia. Kawasan ini adalah kawasan tradisional Makassar. Warga menyimpan kenangan dan pengalaman heroik kehidupan, juga romantisme. Dulu.

[caption caption="Terus membangun di pesisir | Dokpri"]

[/caption]Kini, akses warga pada sumber daya semakin sempit. Reklamasilah biangnya. Membangun kota jasa seperti dimaksudkan wali kota adalah mereklamasi pantai, untuk pelabuhan, untuk taman rekreasi, perumahan, dan menyiapkan simbol-simbol modernitas. Paras Losari dengan anjungannya jadi trademark, masjid berdiri di atas lahan basah. Losari yang baru adalah Losari yang ditimbun. Tanjung Bunga yang baru adalah supermall. Tiang pancang beton kokoh berdiri. Warga menyemut setiap pagi hingga malam, suasana riuh tercipta. Inikah yang dikehendaki penguasa Makassar? Apakah persoalan selesai di situ?

Imbasnya, tahun lalu, ada kisruh antara pengembang, otoritas pemerintah dan warga pesisir membara, ada aksi pembakaran eskavator, pembakaran motor, konflik antar warga dan pengembang membuat aparat keamanan mulai kerepotan. Pemanfaatan pesisir Makassar telah menimbulkan gejolak sosial. Konflik tanah hingga ketidakjelasan status hukum reklamasi ternyata membuat beberapa pihak tersudut dan menderita.

Pemanfaatan Vs Alas Hukum
Di atas kertas rencana, Pemkot menempatkan kawasan perekonomian dan pariwisata kota diplot di pesisir selatan; konservasi bakau di pesisir utara, kawasan pelabuhan dan industri di tengah. Dari sini kemudian jelas mengapa sejak beberapa tahun terakhir perusahaan-perusahaan besar mengincar sekitar Losari dan Tanjung Bunga.

Pemprov mendeklarasikan pemanfaatan kawasan Tanjung Bunga sebagai hak eksklusif berdasarkan SK Gubernur Sulsel yang mengizinkan GMTD untuk menggarap luasan 1.000 hektar. Pemkot meradang dan meminta GMTD tak memonopoli bisnis properti di kawasan tersebut.

Pemkot mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Gong konflik mulai ditabuh. Pemkot benar, meski alas hukum yang lebih pokok adalah zonasi atau kavling peruntukan yang diatur oleh undang-undang. Tapi apakah Pemkot telah menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah? Apakah zonasi yang menjadi ruang aktualisasi perencanaan dan pemanfaatan pesisir telah ada? Apakah Amdal telah dilaksanakan di sepanjang 36 Km, Pantai Makassar? Mana lebih penting, membangun artefak modernitas atau menyiapkan landasan operasional?

Lalu mengapa reklamasi di Makassar seakan tak bisa ditawar lagi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline