Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

135 Likes pada Rindu Rumah Lampau Bugis-Makassar

Diperbarui: 29 Februari 2016   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rumah panggung (foto: Kamaruddin Azis)"][/caption]Saya memilih kuot ini sebagai pengantar, "The past may dictate who we are, but we get to determine what we become— Unknown

Pada ruang dan waktu, kita tiba akhirnya di suasana berbeda. Pada yang lampau, kekinian, juga pada yang tiba. Pada perubahan itu, ada saja yang sepertinya belum sepenuhnya tuntas, tetap terhubung pada lampau, seperti jejak yang selalu hadir di keseharian. Karena kesan baik, pesona atau mungkin saja gairah yang dikandungnya. Bagi saya, mungkin anda juga, masa lalu adalah sepotong surga kemewahan dan suka cita, sebagaimana masa depan, diapun layak dirindu--we get to determine what we become. Begitulah amsalnya.

27 Februari atau 19 jam sebelum tulisan ini dibuat, saya terkesima pada ragam respon sahabat-sahabat Facebook. Adalah foto rumah (dalam bahasa Makassar disebut balla, coba baca ulasan Ipul Daeng Gassing di sini) yang saya ambil di Pulau Kapoposang, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Pangkep, Sulawesi Selatan pada lima tahun silam yang mengundang respon luar biasa.

Luar biasa karena memanen ‘likes’. Saya bukan artis, bukan pula Jokowi haters, bukan pula anti Saipul, tak anti Prabowo. Saya bukan dari mereka yang mencinta status lampau politik dan fans artis yang karena ikatan cinta buta dan karena itu mereka kerap mendulang ‘likes’ dari fans FB. Saya hanya rindu rumah. Salah satu cara memilih jalan pulang. Setuju?

Saya posting foto itu dua kali di FB dan blog. Dan karena kerinduan dan makna yang dikandungnya, saya memposting lagi. Respon yang datang sungguh ibarat air bah di hari kemarau. Ingatan rumah itu bermula saat saya ingat meloncat dari anak tangga karena bikin rusak sesuatu di rumah kami. Saya ingat pula teras rumah yang kami manfaatkan sebagai tempat leyeh-leyeh, bermain, sarapan, tidur siang.

“Jangan tidur di depan teras, jangan angkat kaki, malu dilihat orang,” begitu kata om saya Rasyid Daeng Timung saat lihat saya masih tidur di teras rumah batu di ujung tahun 80an.

Saat itu, saya seperti tak bisa melupa kenangan di rumah tiang, saat terbiasa tidur siang dan angkat kaki di teras rumah (paladang). Punya rumah batu namun laku masih serasa di rumah panggung. Perubahan fisik tak selalu beriringan dengan kebiasaan. Saya rasakan itu.

[caption caption="Rumah di Puntondo (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

Jejak rumah-rumah panggung di kampung, adalah rumah yang menyimpan banyak kenangan. Pada proses kejadiannya, pada gotong royong membangunnya, menyimpan perkakas berusaha, dapur, kayu bakar, gentong, perkakas tenun, dan lain sebagainya. Saya pribadi terkenang, kakek saya Battu Daeng Ngalli’ yang menjadi penghulu rumah, yang meminta kepada ayah untuk menggantung pisang di tiang tengah, simbol agar masa depan penuh nasib baik.

Di Galesong, tepatnya di Kampung Jempang, pada tahun 70an sebagian besar rumah adalah rumah panggung. Seingatku hanya rumah Soekasno, penyuluh pertanian yang rumahnya batu, sekitar 300 meter dari rumah kami. Demikian pula sekolah dan kantor-kantor pemerintah.

[caption caption="Tempat menerima tamu (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline