Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Pedas Rasa Nambah Gangan Belitung

Diperbarui: 14 Februari 2016   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sajian komplit gangan khas Belitung

Siang  tanggal 11 November 2015, mobil yang dikemudikan Hardy (42 tahun), warga Belitung keturunan Bugis Bone mengantar saya dan Ishak mengarah ke warung di salah satu sudut kota Tanjung Pandan. Ishak adalah alumni Kelautan Unhas yang lahir dan besar di Manggar.

“Daeng sudah pernah makan sup gangan?,” tanya Hardy.

Saya menggeleng. “Ayolah kita ke sana, saya ada warung langganan. Sering ke sana kalau ada tamu. Terakhir saya bawa orang dari Papua,” ajak Hardy.

Gangan? Terus terang, saya baru tahu ihwal ini. Di ingatan saya, kata gangan ini mengingatkan saya pada kata ‘gangang’, atau sayur dalam bahasa Makassar.

Tepat pukul 12.00 waktu Kota Tanjung Pandan, kami sampai di warung yang dimaksud. Warung rumahan, Warung Ibu Sri, itu yang saya dengar dari Hardy. Beberapa perempuan sedang sibuk di dapur yang bisa terlihat dari tempat duduk kami. Sebagian lainnya mengulek cabai dan bawang.

Ada ikan seperti teri bening sedang siap di penggorengan. Yang menyita perhatian saya ada sebaskom kecil kunyit yang telah digiling. Inilah corak inti sup gangan itu. Menurut yang punya warung, selain kunyit ada pula lengkuas, serai, cabai rawit, bawang merah, terasi, asam jawa, garam dan gula pasir

Jika di suku Bugis atau Makassar mereka menggunakan asam tua untuk membuat menu ikan Pallumara atau Pallukacci, atau di Wakatobi dan Buton menggunakan asam muda sebagai corak Parende, maka di sini mereka menggunakan kunyit sebagai komponen utama. Tentu saja ikan sebagai intinya.

 

Ikan siap digoreng


Gangan Belitung
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline