Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Pesan Penting dari Ruang Tunggu A1

Diperbarui: 10 Februari 2016   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bersilaturahmi,” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Islam sungguh amat memperhatikan hubungan antar sesama manusia. Ada ragam syariat tentang hubungan manusia baik dengan keluarga maupun masyarakat. Silaturahmi memiliki kedudukan amat penting dalam hubungan bermasyarakat. Selarik hadis bahkan melukiskan orang yang senantiasa silaturahmi akan dipanjangkan umur, pun diperluas rezekinya.

Narasi berikut adalah situasi dan cara penulis membangun silaturahmi dengan seorang penumpang yang sedang menunggu penerbangan dari Cengkareng. Penumpang yang nampak letih karena berangkat sedari pukul 02.00 dinihari di Kalimantan Tengah dan harus menunggu penerbangan berikutnya ke Lampung.

***

Bandara Soeta, Selasa, 9 Februari 2016. Saya tiba di bandara terbesar di tanah air ini sekira pukul 11 siang atau terpaut 2 jam dari jadwal keberangkatan 13.00 Wib destinasi Makassar. Sebelumnya saya ber-gojek ria dari mulut stasiun Tebet mengarah Gambir. Beruntung, baru tiba dan bus segera berangkat.  Setelah segala macam urusan buka dompet, jam tangan, ikat pinggang di pintu X-ray selesai saya bergegas ke ruang tunggu A2. Karena terlalu ramai, saya bergeser ke ruang A1.

Sepasang tua sedang tidur pulas saat saya duduk di samping tangga menuju toilet. Yang perempuan tidur searah barat-timur, kepala di ke barat, yang pria mengikutinya. Di sayap kiri A1 itu hanya ada 5 orang, dua lainnya sibuk dengan gadget. Pada kedua yang tidur itu saya menduga-duga. “Mereka baru pulang jenguk sanak famili di Tanah Betawi. Hendak pulang ke tanah Jawa,” batinku.

Saat si pria terbangun dan hendak ke toilet, saya menatapnya dengan senyum. Dia teruskan langkahnya seraya membalas senyuman. Tak lama, si pria duduk di hadapanku. Kami bersitatap. Saya menyambung rasa ingin tahu tentangnya dengan tanya, tentang asal dan destinasi penerbangannya.  Melihatnya tidur dan membaca penampilannya yang sederhana membuat saya ingin mengetahui lebih banyak.

“Baru pulang dari pelayanan. Di Katingan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah,” katanya.  Siang itu Dia mengenakan sweater hitam dengan garis putih tebal melintang di depan plus celana denim biru muda. Buku "Presence, Hurman Purpose and the Field of the Future" tulisan Peter Senge, Otto Scharmer, J. Jaworski dan Betty S. Flowers yang ada di genggaman saya masukkan kembali ke tas.

Saya mulai berpraktik membangun pertemanan.

***

Suliyanto. Begitu namanya. Tubuhnya ramping. Kerutan di wajahnya menandakan usianya. Dia lahir di pengujung 40an, tepatnya tahun 1949 saat desa-desa di Jawa sedang paceklik multidimensi, sosial, ekonomi dan budaya. Sisa perang dan intrik politik nasional telah berimbas pada desa-desa di Jawa Tengah. Suliyanto muda merasakan kesulitan sosial ekonomi. Situasi ini menuntunnya ke Jakarta pada tahun 70an. Menurut pengakuannya, Suliyanto gamang pada realitas budaya di lingkungannya. Dia selalu bertanya, pada dirinya, tentang jalan kemakmuran dan kedamaian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline