Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Kompasianer di CCC, dari Konten Hingga Curhat Yusran Darmawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kasus korupsi sedikitnya Rp 4 miliar pada pembebasan lahan pembangunan gedung Clebes Convention Center (CCC) di Jl. Metro Tanjung Bunga, Makassar sedang bergulir di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Namun aroma kabar itu sepertinya tidak mengusik minat warga untuk datang pada pelaksaanaan Kompas Gramedia Fair, 27 April – 2 Mei 2010 di Gedung berperkara milik pemerintah tersebut. Warga hilir mudik keluar masuk stan pameran dan bursa buku murah di hari terakhir gala tersebut. Selain bursa buku, beberapa kegiatan edukatif juga digelar diantaranya lomba mewarnai anak-anak dan kompetisi sains kreatif tingkat sekolah. Tanggal 2 Mei 2010 itu pula, Kompasiana, salah satu wadah jurnalisme warga keroyokan yang diasuh oleh unit kerja Kompas menggelar acara “Kompasiana Nangkring di Makassar”.

Lima belas menit sebelum pukul 02.00 wita saya sampai di lokasi pertemuan. Puluhan Kompasianer (sebutan bagi warga pengisi portal reportase artikel, kompasiana.com) telah duduk mengisi dua baris kursi. Saya mendaftar ulang di meja panitia dan diganjar satu blocknote Kompas, baju Kompasiana warna hitam ukuran XL dan satu nasi dos Rumah Makan 17 Propinsi. “Bagus sekali bajuta, pak,” Kata istri saya beberapa jam setelah usai acara itu.

Di depan panggung telah berdiri Iskandar Zulkarnaen atau Isjet menyampaikan ihwal, pernak pernik Kompasiana, peserta terlihat serius menyimaknya. Saya terlambat dari satu jam empat puluh lima menit dari jadwal semestinya. Saya memilih kursi baris kedua di sebelah timur ruang acara.

Baru beberapa detik, saya sadar bahwa di depan saya duduk, salah satu backbone Kompasiana. Dialah si penggemar catur yang tak pernah juara. Si pengumpul papan/bidak catur dan penulis artikel catur, olah raga otak kesukaannya. Dia Pepih Nugraha. Dengan refleks saya segera menyalaminya. Orang ini jugalah yang menjadi inspirasi saya dalam menulis. Menulis hal-hal biasa, remeh temeh yang kerap terlupa. Tentang kisah orang-orang kecil.

Seperti Kang Pepih (begitu dia kerap disapa) saya percaya bahwa social media pada akhirnya akan berjalan sejajar dengan media arus utama. Saya senang dapat berkenalan langsung dengan penyuka artis pop Makassar, Iwan Tompo dan Dian Ekawaty ini.

Selain Pepih, untuk pertama kalinya saya bertemu Muslimin Beta Daeng Lalo, blogger sekaligus penulis artikel di Harian Tribun Makassar. Saya juga melihat Andy Syukri Amal dan Imansyah Rukka, di sisi kanan saya. Dua anak berdarah Sulawesi Selatan ini yang lebih dahulu akrab dengan Kompasiana. Di jejeran kursi bagian barat, tidak satu pun yang saya kenal. Tapi saya senang, karena mereka kumpulan anak-anak remaja yang terlihat atraktif dan penuh daya perhatian pada forum penting ini.

Di sisi selatan kursi saya, duduk beberapa anak IPDN Makassar dengan seragam dinasnya. Tiga perempuan dan empat lelaki. Saya duduk berdampingan dengan Nila, seorang praja berdarah Bugis yang datang dari Sulawesi Tenggara. Dia terkesima saat saya menjelaskan bahwa saya dapat berbahasa Bajo, suku laut yang dia tulis di salah satu postingannya di Kompasiana.

Beruntung Kompasiana punya seorang Iskandar Zulkarnaen atau Isjet. Dia terlihat menguasai dan lancar menyampaikan fakta, gagasan dan dinamika Kompasiana. Saya mengikuti beberapa menit penjelasannya. Jam dua lewat, sesi berikutnya adalah bincang-bincang Kompasiana.

Saya menyampaikan beberapa hal tentang pengalaman menulis di Panyingkul dan alasan mengapa memilih bergabung di Kompasiana pada akhir tahun 2009 lalu. Imansyah, Andy Syukri, dan beberapa Kompasianer muda lainnya telah memberi pandangan dan masukannya, terkait aspek teknis maupun jalinan kekerabatan antar Kompasianer.

Isjet dan Pepih yang duduk di depan memberi tanggapan dengan sangat jelas. Sesekali memancing tawa dan memuji partisipasi aktif warga. Satu hal yang saya petik dari komentar Kang Pepih atas eksistensi www.panyingkul.com yang saya sebutkan sebagai model warga dalam forum itu adalah betapa pentingnya membaca fakta, betapa pentingnya menulis atas situasi faktual warga.

Beberapa poin lain yang disampaikan peserta adalah bagaimana menjaga supaya tulisan bebas komplain. Tapi, sekali lagi, bagaimanapun jika tulisan itu berbasis fakta, tentu akan jauh dari protes atau komplain. Mengemuka pula tentang tulisan yang terlalu menonjolkan konten porno dan praktek copy paste yang oleh Isjet mesti melihat konteksnya saat menjadi bagian tulisan. “Menulis penis atau vagina tentu bukan soal asal sesuai dengan konteksnya,” Kata Isjet yang diamini Pepih.

Pepih menegaskan, bahwa jika ingin jadi blogger mestinya praktek copy paste itu dihilangkan saja. Sebab jika hanya mengkopi gagasan orang lain, jadi untuk apa menulis?. Obrolan berjalan sangat cair dan memukau. Beberapa peserta menikmati sajian makan siang pada saat sesi diskusi berlangsung, beberapa lainnya mulai saling menanyakan nama dan alamat email. Hingga akhirnya sesi itupun ditutup sekitar pukul 03.00 sesuai jadwal. Sesi berikutnya adalah foto bareng dengan tulang punggung Kompasiana dan para Kompasianer chapter Makassar. Kang Pepih dan Isjet adalah incaran pada Kompasianer saat itu. Termasuk saya.

Sebelum ke atas panggung, saya salami Musilimin alias Primus atau si Pria Muslim, anggota blogger Anging Mammiri sekaligus pengisi kolom opini beberapa media cetak. Juga, Imansyah Rukka, A Syukry Amal (ASA) pegiat Organisasi Non pemerintah yang ternyata datang dari Palopo, Luwu, 370 kilometer dari Makassar.

Tentu saja saya juga bersalaman dengan beberapa kompasianer muda lainnya, termasuk Yusran Darmawan yang curhat sedang dirundung duka karena perkara hukum.  Yusran digugat teman almamaternya karena mengkritisi tingkah laku mereka.

Menurut seorang anggota Kompasiana, Mbak Tyas, karena tulisan di blog pribadinya Yusran saat ini diperiksa di Polsek Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan. Sampai saat ini usaha damai masih tetap ditempuh oleh pihak Yusran untuk diselesaikan secara kekeluargaan, namun permintaan maaf tersebut tampaknya tidak digubris oleh pihak yang bersangkutan. Kawan-kawan Kompasianer dengan tegas juga menunjukkan dukungannya pada Yusran, termasuk Pepih Nugraha.

Sebelum pulang, saya bertemu Amiruddin Pallawa Rukka, alias Amir PR alias Angko (ini panggilan khusus saya saja ke beliau),dia salah satu figur penting di segmen online Tribun Timur. Sahabat yang punya selera humor di atas rata-rata ini persis sama dengan penggambaran saya sebelum bertemu dengannya. Sangat menyenangkan. Banyak hal yang kami bincangkan termasuk pentingnya mendukung kesadaran politik warga dengan menulis, menulis adalah salah satu pilihan politik warga.

Satu yang perlu ditempuh adalah memberi dorongan konkrit, moral dan moril kepada Yusran Darmawan, blogger yang sedang didera perkara pelik karena tulisan di blognya. Ayo dukung!

Sungguminasa, 03052010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline