Lihat ke Halaman Asli

Ternyata, yang Dulu dan Sekarang sama saja!

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ternyata, yang dulu dan sekarang sama saja!

Jam sudah menunjukkan pukul 09:53 dan matahari sedang tersenyum lembut membakar kulitku yang terlindungi pakaian Bermerek Internasional yang tidak saya perdulikan namanya, ketika baru tiba di dermaga dan turun dari sebuah kapal pesiar yang sangat mewah. Maklum, horang kaya! Habis ngunjungin pulau pribadi di selatan Nusa Tenggara.  Suara ombak dan burung – burung camar begitu harmonis di telingaku.

Tapi kenapa tiba – tiba saya ada diatas kasur tercinta?

Pikirku spontan! saya telat! Bangun kajili-jili (tergesa – gesa) langsung menuju kamar mandi. Cuci muka dan sikat gigi, lalu tancap gas ke SDIT al Fityan, sungguminasa Gowa – Sulawesi Selatan. Ah! Lupa pamit sama orang rumah! Oh iya, Di sana kami (komunitas Jalan – Jalan seru Makassar) dipercayakan untuk membimbing adik – adik dari sekolah itu untuk sebuah permainan yang di jaman sekarang sangat asing untuk dimainkan. oh iya, hari itu, sabtu 8 juni 2013.

Permainan tradisional, seperti maqAsing, maqBoy, beklan, Kacamata, kelereng, dll. Adalah permainan yang sangat popular ketika kami masih kanak – kanak. Sebelum gadget jadi lebih menarik untuk dilirik. Sebelum lapangan luas kami ber-ubah menjadi Ruko dan perumahan. Dan sebelum kami mampu membeli PS3 (yakali, jaman itu, semuanya sudah ada).

Sampai di sekolah itu, suara anak – anak yang sedang semangat - semangatnya, terdengar dari lapangan tempat saya memarkir kendaraan. Suara mereka menggema seantero sekolah, sampai saya bingung menentukan. Pikirku, “di gedung mana mereka sedang tertawa?” Tapi itu tidak sulit untuk dicari, sebab, sangat mudah untuk menanyai anak – anak di sana. Tapi sulit menanyakan nama dan nomer handphone-nya, apalagi minta akun twitternya, lebih – lebih nanya, “sudah punya pacar apa belum?” (hallah, Cing, mereka masih di bawah Umur, dasar pedofil —“)

Hal pertama ketika sampai di lantai 4 gedung dimana aula dan GOR terdapat, dan cukup membuat poso (nafas ngos – ngosan). Adalah melihat kakak Lia, Riska, dan Mas Boomb2s sedang serius memperagakan beberapa permainan tradisional di depan antusiasme para bocah – bocah yang tergilas Zaman. Lapar dan ngos – ngosan serta badan yang lengket karena belum mandi (hihihi), semua tidak ku perdulikan lagi. Melihat semangat mereka yang sangat anak – anak, seperti melihat diriku di Masa lalu, lalu pikiranku  kembali ke masa Lalu, bahagia memang tak terlalu butuh kecanggihan teknologi.

Satu – persatu permainan tradisional kami perkenalkan, dan semakin membuat mereka penasaran. Meski tidak mengerti dengan pasti permainan yang kami Jelaskan, sepertinwaktu maqasing (grobak sodor), ada dari mereka yang hanya diam berdir. Membiarkan lawannya lolos begitu saja. Tapi itu tidak mengurangi semangat dan keseruan hari itu. Sportivitas dan kebersamaan yang muncul semakin membara, lalu keringat meluap bersama tawa dan teriakan – teriakan bahagia.

Semua kejadian yang saya lalui hari itu, hampir membuatku gila karena Bahagia…!!!

Bising tawa dan derap langkah mereka bertalu, memantul ke seluruh penjuru ruangan. Wajah Lugu dan protes – protes kecil mereka membuat saya dan beberapa teman yang menjadi wasit dalam permainan mereka, membuat kami menjadi lebih hidup, dan beginilah mungkin jadi orang tua, aku siap kok jadi ayah dari anak – anakmu kelak, ehh.

Ada beberapa permainan yang tidak sempat kami peragakan. Seperti maccukkeq, maqlogo, maqsanto, karena permainan ini butuh lapangan luas yang ber-alas Bumi untuk bermain, dan tidak memungkinkan dimainkan dalam ruangan tertutup. Tapi, ini saja kami sudah ampun – ampun memeragakannya di depan mereka.

Hari itu berlalu dengan cepat, dan kami tidak bisa meladeni semangat mereka. Ampun dek, kakak – kakakmu sudah tak se-liar dulu. Sudah malu memegang sandal sambil berlari. Sudah tidak bisa menahan panasnya aspal jalanan dengan kaki telanjang. Juga tidak bisa lagi berlari seperti dikejar anjing. Kami sudah berbobot, dan tak bisa meringankan tubuh lagi. Nafas kami sudah pendek, dan kesibukan membatasi ruang gerak kami. Kapan kelowongan kita berjodoh, kami siap meladeni semangat kalian, juga semangat adik – adik lainnya.

Dik, berminlah sepuas kalian. Perlihatkan pada bapak – bapakmu, kalau kalian butuh lapangan bermain. Tapi, jangan lupa belajar yah. Jangan ulangi kesalahan kakak – kakakmu yang Cuma tahu main – main saja. Cuma tahu protes, tanpa membuat perubahan. Kalian belajar untuk membereskan kekacauan “rumah kita” yang seperti kapal pecah ini. Sapu kotoran, lipat baju, lalu lap – lap perabotan yang berdebu. Kalian harapan kami. Kalian semua bisa!

Sekian dulu yah, saya Cuma bisa menulis sampai disini. Melihat semangat kalian yang terkurung pagar – pagar rumah, membuat saya dan mungkin teman – teman yang lain tetap optimis. Bahwa, perubahan kearah yang baik, itu keniscayaan! Selamat bermain ya adik – adik semua!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline