Cerita Hari Ini: Menjadi Pengacara Kasus Perceraian di Pengadilan
Sebagai advokat atau pengacara (sejak 2009) dengan latar belakang wartawan (sejak 1980), sudah pasti harus bekerja secara profesional. Baik dari sikap, perilaku maupun dari sisi administrasi profesi. Harus resmi, terdaftar, dan sudah disumpah.
Ya. Kapan harus "berbaju" pengacara dan menulis gugatan, atau pledoi untuk kepentingan klien. Kapan waktunya meliput dan menulis berita untuk kepentingan publik dan tugas sebagai pekerja media. Alhamdulillah, kedua profesi ini saya rasakan saling menunjang.
Wawancara narasumber di lapangan sebagai wartawan misalnya, ternyata tak jauh beda jika sidang pemeriksaan saksi. Menginterview saksi, mengorek sebanyak mungkin informasi, atau berdebat dengan dasar dalil hukum dengan pengacara pihak lawan. Bahkan dengan majelis hakim sekalipun
Tapi namanya manusia biasa, ya saya tidak bisa lepas dari gejolak perasaan. Perasaan seorang pengacara yang berlatarbelakang wartawan. Terkadang, ikut hanyut dalam alur cerita yang dialami klien.
Salah satu contoh, saat mendampingi kasus perceraian dari klien di Pengadilan Agama (PA). Baik klien yang datang sebagai pihak suami atau pun pihak istri.
Misalnya, klien dari pihak istri meminta pendampingan untuk mengajukan permohonan gugat cerai ke suaminya. Tentu, isi surat gugatan lebih ke "sifat negatif" sang suami. Artinya, suami dituduh telah mendzolimi istrinya.
Sebaliknya jika pihak suami yang minta saya jadi advokat, pengacara atau kuasa hukumnya, isi surat gugatan cerai talaknya lebih ke "sifat negatif" sang istri. Antara lain, istri dituduh tidak menghargai suaminya.
Nah, ribet, kan?