Lihat ke Halaman Asli

Nur Terbit

Pers, Lawyer, Author, Blogger

Rekreasi ke Monas, Turun Tangga 15 Menit, Antre di Lift 3 Jam

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13556746491396006112

[caption id="attachment_214827" align="aligncenter" width="604" caption="Berpose sejenak dengan latar belakang tugu Monumen Nasional (Monas) -- foto: koleksi pribadi"][/caption] MONAS  (Monumen Nasional) sebagai sebuah ikon ibukota, sepertinya menjadi tujuan penting bagi wisatawanyang mengunjungi Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia tercinta ini, terutama wisatawan nusantara. Seolah bila tak pernah ke Monas, sama dengan tak pernah ke Jakarta. Begitu pula warga DKI sendiri, rasanya naïf bila tak pernah mengunjungi Monas dan naik ke puncaknya. Sekarang ini Monas juga lebih "terbuka" terutama dalam menerima pengunjung. Sejak Gubernur DKI Jakarta dijabat Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) -- yang terpilih menggantikan pasangan sebelumnya, Fauzi Bowo (Bang Foke) dan Prijanto -- banyak perubahan yang terjadi di Monas, khususnya soal makin "bebas"-nya pengunjung dan pedagang berbagai jenis asongan ke areal tugu yang dipuncaknya ada emas ini. "Sesuatu yang dulu gak mungkin terjadi di era gubernur sebelumnya. Pedagang asongan gak berani berdagang. Mereka dikejar-kejar oleh petugas Tramtib (sekarang Satpol PP, pen) dan diusir keluar. Kalau sekarang, wah.... mulai semrawut, pedagang bebas masuk dan pengunjung bisa membawa kendaraannya masuk ke areal Monas,"  kata Febri, pegawai PNS Pemprov DKI Jakarta yang sehari-hari bertugas sebagai staf kantor Kecamatan Jatinegara. Suatu hari sambil bermalam mingguan di Monas, pertengahan Nopember 2012 lalu, saya datang bersama anggota keluarga.  Apa yang dikatakan Febri ternyata terbukti. Saya masuk dari pintu depan Istana Presiden di Jl Medan Merdeka. Selama ini pengunjung hanya bisa masuk dari satu pintu, melalui taman IRTI depan Balaikota, gedung tempat Gubernur DKI berkantor. Apa yang terjadi? Meski ada patroli polisi mengawasi di depan pintu yang biasanya digunakan mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat menggelar demo di siang hari, pengunjung dan pedagang asong pun bebas memasuki areal Monas. Bahkan yang membawa mobil, motor, bisa memarkir kendaraannya di areal Monas. Hanya terlihat sekelompok orang berpakaian preman di depan pintu gerbang,  yang sibuk menarik "uang parkir" dari setiap kendaraan yang masuk. Satu motor ditarik semacam "retribusi" Rp. 2000 dan mobil Rp.5000,- Tentu saja tanpa karcis, sebab uang parkir tadi langsung masuk kantong mereka. Lain lagi kalau siang hari. Petugas parkir di Taman IRTI Monas, selain membayar parkir resmi, begitu keluar dipungutin lagi, terutama bus yang membawa rombongan dengan tarif tanp karcis Rp10.000 setiap bus. Wah..wah..

Pengalaman yang saya ingin ceritakan kali ini, adalah kejadian di siang hari. Banyak pengalaman unik dari pengunjung yang ingin mencapai pelataran puncak Monas. Perlu perjuangan tersendiri, sehingga banyak kisah takterlupakan bagi yangmengalaminya. Salah satunya, Galih Abu Syauqi , warga Griya Parungpanjang, Kabupaten Bogor. Pada  liburan sekolah 2010 silam, ia bersama isteri dan anaknya berwisata ke Monas. Sudah beli tiket ke puncak ternyata antrenya mengular.

Ayah dua anak ini keluar antrean dan mendapat info dari beberapa pengantreterdepan, bahwamereka sudah 3 jam lebih di situ. Untuk menghilangkan kejenuhan, Galih membawa kedua anak balitanya keluar antrean dan membeli makanan dan mainan layangan kecil. Sementara isterinya tetap di tempat. Tak terasajam 18.00 baru dapat giliran ke puncak dengan naik lift yang berkapasitas maksimum 12 orang itu.

Kisah lain dialami ibu Sardiah dan ibu Siti Rabiah, keduanya guru PAUD/TK Islam Raihan di Bekasi Timur, Kota Bekasi. Pada tahun 2010, ia bersama 50-an siswanya berwisata ke Monas setelah latihan manasik haji di Masjid Istiqlal. Tiket sudah dibeli untuk naik puncak Monas.

Ternyata antrenya lama sekali sampai 3 jam lebih. Padahal carter busnyasudah hampir mencapai batas waktunya. Oleh guru-guru dan wali murid diputuskan pulang saja ke Bekasi dan batal naik ke puncak Monas. Apa yang terjadi? Ternyata banyak anak anak balita itu yang menangisbergulung-gulung di lantai pelataran Monas dan ngambek tak mau pulang. “Mau naik Monas,”rengek mereka. Tapi namanya guru, ya tak kurang akal membujuk anak didiknya.

Pengalaman lain, dialami seorang warga Duren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Namanya  Daeng Tika. Pada  21 April1995 silam, pria kelahiran Makassar ini berwisata ke Monas bersama anak dan isterinya yang sedang hamil tua. Sudah berlama-lama antre mau naik lift ke puncak Monas, tiba-tiba isterinya mengaduh perutnya mulas, kontraksi.

Tanpa pikir panjangdiurungkan niatnya dan buru- buru turun mencari taksi. Pasanganini langsung menuju Rumah Sakit Bersalin yangdekat rumahnya. Benar saja, ternyata telah pembukaan pertama. Esok harinya lahirlah anak Milarun yang kedua, perempuan.

13556747431883347097

Ini pengalaman unik yang lain. Suhargo warga Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusatyang kini tinggal di Depok, bersama saudara sepupunyaPrihardjo bersilaturahim ke tempat kerja temannya, Tobing di Monas. Pertengahan dekade 1970-an,Monas belum dibuka untuk umum.

Kesempatan ini digunakan mereka berdua menikmati segala fasilitas yang ada di Monas, termasuk naik lift ke pelataran puncak. Saat mau turun ternyata diumumkan ada tamu Negara yang datang dari India berkunjung ke monumen kebanggaan Indonesia itu.

“Kami dilarang turun dengan lift. Terpaksa lewat tangga spiral. Lebih seperempat jam sampai di bawah,” kata Suhargo. Prihardjo menambahkan, telapak tangan jadi hitamberpegangan reling tangga meluncur ke bawah.

Akibat frekuensi lift Monas naik- turun cukup tinggi, pernah terjadi macet di tengah tengah sehingga membuat panic pengunjung. Karena itu tiap Senin pekan terakhir,faslitas itu diservis dan Monas ditutup.

(Teks gambar: Suasana senja hari di Monas, difoto menggunakan handphone, foto2: koleksi NAH/Nur Terbit)

salam,

Nur Terbit

Nama lengkapnya: Nur Aliem Halvaima (NAH)

blog: www.aliemhalvaima.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline