Lihat ke Halaman Asli

Nur Terbit

Pers, Lawyer, Author, Blogger

Melompat Dari Atas "Jembatan Cinta" Pulau Tidung

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_144173" align="aligncenter" width="720" caption=" Saya (penulis) berdiri paling kiri berkaos biru mengangkat tangan, berpose sejenak bersama peserta program Duta Wisata Bahari di Pulau Bidadari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta setelah sehari sebelumnya mengunjungi Pulau Tidung. Di Pulau Tidung itulah terdapat Jembatan Cinta yang bikin heboh itu. Pernah sekali waktu jembatan ini roboh dan perlu perbaikan. (Foto : dokumentasi Nur Aliem Halvaima)"][/caption]

BERWISATA ke pulau? "Siapa takut! Pasti seru dan heboh nih," pikir saya. Itu pertama kali terlintas dalam pikiran saat diundang oleh UPT Museum Bahari, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, meliput program acara bertajuk "Duta Wisata Bahari". "Kita bermalam di pulau, Pak. Pulau Seribu," terdengar suara seorang wanita dari ujung sana. Beliau memperkenalkan diri sebagai Ibu Dwi Martati, yang tak lain adalah Kepala UPT Museum Bahari, yang berkantor di Jl. Pasar Ikan Nomor 1 Jakarta Utara ini. Saya langsung membayangkan suasana laut. Berimajinasi bagaimana melintasi laut, dalam pelayaran dihempas ombak, kapal oleng. Wuih.. sensasinya terasa benar. Menyebut Pulau Seribu, ingatan kembali ke masa 25 tahun lalusaat gugusan kepulauan di Teluk Jakarta ini masih masuk wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara. Ya, belum berdiri sendiri sebagai satu Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Transportasi laut menjadi problema tersendiri. Terbayang jelas ketika itu, mesin kapal yang mengangkut rombongan kami -- Sekretaris Kota Jakarta Utara, Pak Rachmat -- tiba-tiba ngadat dan mogok di tengah laut dalam perjalanan kunjungan dinas ke Pulau Pramuka, masih gugusan Kepulauan Seribu. "Kalau waktu itu kita tidak ditolong nelayan, kita bisa terbawa arus dan terdampar di Australia," canda Marhongkom Tobing, teman jurnalis yang juga ikut dalam rombongan. Doa panjang seolah tak cukup bagi penumpang yang di atas kapal ketika itu. Masalah transportasi ke Kepulauan Seribu, selama ini memang dianggap mahal oleh warga DKI Jakarta karena lebih banyak yang carteran dari pada yang yang regular. "Faktor inilah yang menyebabkan sedikitnya  warga Jakarta sendiri mengunjungi Kepulauan Seribu tersebut meskipun masih wilayah DKI Jakarta. Hanya sekitar 15%  penduduk DKI Jakarta yang pernah ke Kepulauan Seribu,” kata Bupati Kepulauan Seribu, Drs H Ahmad Ludfi ketika melantik Putra Putri Bahari 2011 di Pulau Bidadari, awal Oktober lalu. Akan tetapi nyatanya wisatawan yang mengunjungi  12 pulau resort dan pulau penduduk di Kepulauan Seribu tiap tahun meningkat, baik wisnu (wisatawan nusantara) mapun wisman (wisatwan mancanegara). Tercatat tahun 2009 sebanyak 141.227 wisatawan, 2010 menjadi 247.376, dan tahun 2011 mencapai 344.000 lebih sampai awal November. Maka, pagi-pagi buta saya sudah meluncur dari rumah di Bekasi menuju Dermaga Marina, Ancol. Itu tentu saja, setelah bergonta-ganti angkutan umum. Untungnya sudah ada jalur Busway hingga ke Ancol, dan haltenya tak jauh dari dermaga, hingga tak terlalu perlu bermandi keringat di pagi hari. Tiba di dermaga, sudah ada dua kapal pesiar: Miss Lee, yang sandar. PULAU TIDUNG Dua kapal mewah bertarif jutaan rupiah ini, kemudian mengangkut rombongan kami langsung ke Pulau Tidung yang berangkat pukul 08.00 WIB. Perjalanan menyita waktu sekitar 1,5 jam melintasi laut, dihempas ombak, kapal sedikit oleng. Kepala Seksi Pariwisata Sudin Parbud Kabupaten Kepulauan Seribu, Tjetje Rachman mengakui, selain Pulau Untung Jawa maka  Pulau Tidung merupakan pulau berpenduduk nelayan yang cukup banyak dikunjungi wisatawan. Luas wilayah Pulau Tidung mencapai 53,13 ha  dengan penduduk sekitar 4000 jiwa.  Namun setiap week end pengunjung pulau ini bisa melebihi jumlah penduduknya. Pulau Tidung memiliki fasilitas akomodasi cukup memadai  berupa  155  homestay. Yang khas di Pulau Tidung adalah ikon "Jembatan Cinta" sepanjang 800 meter yang dibangun tahun 2004. Di jembatan inilah kedua kapal kami (Miss Lee) bersandar. Di bawahnya setiap saat melintas Banana Boat, semacam perahu karet yang ditarik speed boat, dimana penumpangnya sengaja minta ditumpahkan ke laut. Byuurr... dan mereka akhirnya bersorak kegirangan, ada pula yang menjerit ketakutan. Beberapa saat kami tiba di Pulau Tidung setelah berganti pakaian, saya hampir dipermalukan oleh rasa ketakutan saya sendiri. Di jembatan setinggi 10 meter dan air laut di bawahnya sedalam 8 meter, bergantian rombongan kami (tentu yang bernyali besar) melompat ke dasar laut. "Takut? Nggak berani? Ayo ikut. Lihat nih ibu loncat ya...," kata suara itu. Eh seperti tidak percaya, saya langsung menoleh. Ya ampun, ternyata wanita pemberani itu adalah ibu Dwi Martati, Kepala UPT Museum Bahari. Saya akhirnya ikut-ikutan melompat dengan seluruh keberanian yang ada, dan tentu saja, lengkap dengan pelampung pinjaman dari Ibu Yani, staf pegawai Ibu Dwi di Museum Bahari. Hehehe.. Sore hari, kami cabut dari Pulau Tidung dan bermalam di cottage yang ada di Pulau Bidadari. Di tempat ini berbagai kegiatan telah menunggu. Sore hari esoknya lagi, dua kapal pengangkut rombongan pun kembali ke Jakarta dikawal hujan gerimis. Tak terasa, 31 jam lamanya kami lewati sambil menikmati suasana laut bersama para Duta Wisata Bahari. salam, Tulisan lain mengenai wisata ada di http://aliemhalvaima.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline