Lihat ke Halaman Asli

Nur Terbit

Pers, Lawyer, Author, Blogger

Nikmatnya Jadi "WTS"

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14129407802062062654

Zaman Orde Baru, ada istilah WTS. Maaf, bukan Wanita Tuna Susila atau Pekerja Seks Komersial (PSK) tapi WTS alias Wartawan Tanpa Suratkabar. Secara fisik adalah wartawan, sikap dan tingkah laku serta cara2 menjalani pekerjaannya pun mirip-miriplah. Beda-beda tipis dengan wartawan sungguhan.

Bedanya, karena mereka memang tanpa surat kabar. Cap negatif ini betul-betul sangat mengganggu bagi kami yang wartawan "beneran". Artinya benar2 mencari berita. Kalau pun pada akhirnya berdampak ekonomi, itu soal lain ceritanya hehehe...

Zaman Orde Reformasi sekarang ini, tiba-tiba saya harus pula menjalani pula profesi tersebut -- yang di zaman Orde Baru disebut WTS itu.

Ini bukan terpaksa, sekalipun harus dipaksa oleh pasca pensiun sebagai wartawan dari koran yang terbit secara  harian-- tapi karena semata-mata tuntutan SIKON alias SItuasi KantONg hehe... Maka, jadilah saya penulis lepas atau wartawan free lance. Dan, ternyata asyik juga ya ternyata.

Saya terus terang bangga. Kenapa?

Ya, karena  ini merupakan langkah kaki saya sebagai seorang wartawan jadoel yang ternyata bukan sesuatu hal yang baru pula. Ini juga pernah dilakukan -- bahkan dijalani bertahun-tahun hingga akhir hayatnya -- oleh wartawan senior sekelas H. Rosihan Anwar.

Sekedar diketahui bagi Anda yang masih muda (ciieh, sok tua hehe..), Pak Rosihan ini adalah wartawan seangkatan BM Diah (pendiri Harian Merdeka), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Harmoko (Pos Kota Grup), Jacob Oetama (Kompas Grup) dan lain-lain sebagainya yang sekarang sudah pada sepuh.

Nah, sejak koran PEDOMAN yang didirikannya itu diberangus oleh pemerintah menyusul Indonesia Raya milik Mochtar Lubis, wartawan gaek ini tetap terus menulis sebagai free lance hingga tulisan dan bukunya bertebaran di mana-mana, termasuk menjadi koresponden sejumlah media asing (luar negeri).

Rosihan Anwar pula -- yang salah satu buku karangannya soal reportase pers yang saya sukai : "Menulis Di Dalam Air" -- ini baru betul-betul berhenti menulis setelah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

(Saya pernah wawancarai beliau di rumahnya, dan ini ternyata tidak gampang. Nyaris setiap wartawan muda yang datang mewawancarainya, harus sudah pernah membaca salah satu buku karangannya sebagai persyaratan untuk bisa mewawancarai beliau. Kalau belum satu pun buku Pak Rosihan Anda baca, jangan harap bisa mewawancarai beliau, pasti disuruh pulang dulu cari buku beliau dan... baca! Alahmdulillah, saya termasuk yang lulus dari persyaratan beliau, ya karena itu tadi, saya kebetulan sudah pernah membaca bukunya "Menulis Di Dalam Air" itu hehehe....)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline