Lihat ke Halaman Asli

Janahku, Mewarisi Bapaknya (Bagian 1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudah kamu pergi saja ke Malaysia mencari uang buat melanjutkan sekolahmu”!, “Iya bapa Janah mau, nanti setelah pulang dari sana janah pengen kuliah juga pengen beli motor Vix-ion”.

Itu setahun yang lalu, kini engkau dan nenekmu dalam keadaan bingung begitu juga aku.

Aku menawarkan engkau kala itu dengan maksud agar engkau belajar banyak dari hidup, bahwa hidup yang tak tertata akan mendapatkan resiko yang juga tak bisa tertiti.

Waktu dipenampungan itu kau begitu bersemangat menawarkan mimpi buatmu sendiri, menawarkan keinginan untuk engkau jadikan penyemangat dalam dirimu, bahwa engkau punya tujuan yang jelas walau agak terlalu dini. Engkau turuti saja saat penyalur TKI gelap itu menjadikan usiamu 22 tahun, padahal engkau baru 16 tahun waktu itu. Dan engkau mau saja namamu diganti sedemikian rupa dengan alamat dan data-data dibuat dengan keperluan pemberangkatanmu ke negeri jiran itu.

Itu setahun yang lalu, dalam banyak kesempatan aku seringkali jenguk engkau. Tak ada hal yang meragukan dalam dirimu waktu itu, engkau begitu menikmati hidupmu kalau tidak kukatakan engkau sangat percaya diri akan melalui hidupmu dua tahun ke depan dalam statusnya sebagai ‘baby sitter’ illegal yang menggunakan fasilitas passport kunjungan.

Kini aku terhenyak, dalam banyak hal aku akui tak pernah aku menyesal melakukan sesuatu dalam hidup ini. Tapi untuk urusan ini, aku katakana jujur bahwa aku sangat menyesal telah melepaskan engkau begitu saja dengan usiamu yang masih sangat muda. Lebih tepatnya anak-anak!

Diantara rasa sesal ini ada rasa bangga yang menyeruak dalam hatiku terdalam. Karena diantara wanita seusia engkau, hanya engkau yang terlihat sangat tegar dan bangga dengan keadaanmu seperti ini. “Sudah jangan urusin janah, urusin aja urusan bapa, kalau bapa mau, tanya aja ke bu lia kapan mau gantikan Janah dengan orang yang dipesan oleh majikan Janah. Disini Janah kerja sampingan sambil menunggu keputusan bu Lia”, satu statement yang tak bisa kubantah, bahwa anakku menjadi sosok yang sangat tegar dalam menghadapi masalah.

Setahun lalu, Janah anakku, masih sekolah di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jawa Tengah. Sedangkan aku bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jawa Barat. Aku menyempatkan satu bulan sekali berkunjung kesana, setelah menerima gaji aku pulang menggunakan kereta api.

Janah yang pelajar SMP itu dikemudian hari kuketahui berkali-kali diperingatkan sekolah karena bergaul dengan sekelompok manusia yang menurut pihak sekolah dilarang untuk dimasuki. Janahku rupanya anak wanita yang keras kepala, dia tak mau kegiatannya diusik. Malah sekolahnya sering ia tinggalkan. Belakangan dketahui selama empat hari berturut-turut tak masuk sekolah gara-gara mengikuti kegiatan kelompok ini. Terang saja pihak sekolah mengeluarkannya dari sekolah. Yang menjadi permasalahannya waktu itu sekitar sebulan lagi akan diadakan Ujian Akhir Nasional (UAN), data Janah sudah sampai ke Kanwil Diknas setempat. Maka sudah bisa dipastikan Janah tidak bisa pindah sekolah dengan kelas yang sama dan mengikuti UAN karena data UAN tidak bisa menyusul dan jadilah kami, anak dan bapak yang kebingungan menyikapi ini.

Dengan maksud menunggu tahun depannya lagi melanjutkan sekolah di kota tempat kerjaku, kami berkunjung ke salah satu teman lamaku. Disinilah malapetaka itu dimulai, temanku menawarkan Janah berangkat ke Malaysia jadi TKI dengan paspor kunjungan, katanya lumayan buat pengalaman atau nanti setelah pulang dari sana janah bisa melanjutkan sekolahnya lagi dengan biaya sendiri. Janahku adalah wanita yang hampir semuanya mewarisi karakter bapaknya yang serampangan dalam berbuat, kadang tak berfikir ulang akibat dari perbuatannya itu, langsung saja menyetujuinya. Bahkan langsung dia punya program dadakan seperti yang dikatakannya ingin kuliah dan beli sepeda motor Yamaha Vix-ion. Duh… anakku persis bapaknya, segala perbuatannya tak pernah tak menimbulkan permasalahan di kemudian hari selalu saja berbuntut, entah panjang ataupun pendek buntutnya. Anehnya lagi akupun seolah menyetujui usul temanku itu, pikirku ‘semoga saja anakku berfikir panjang melakukan perbuatan yang menimbulkan masalah kalau dia ada di negeri orang’.

Janah adalah Janahku, anakku yang mewarisi segala karakter yang ada padaku. Kecerobohannya, kekerasan hatinya, ketegarannya, ketidaksabarannya adalah warisan mutlak bapaknya yang dikemudian hari menjadi malapetaka kecil di kehidupannya.

Janah adalah anakku yang selalu menuruti kehendakku yang kadang berefek yang tak baik buat kami, pernah kami melakukan konspirasi yaitu aku kawin lagi dengan perempuan lain, dan itu didukung oleh Janahku. Sampai tergulingnya perkawinan keduaku, Janahku tak sedikitpun memberitahukan kepada istriku, yaitu ibunya sendiri. Itulah Janahku, anakku.

Kini janahku sebenarnya sedang kebingungan bagaimana caranya pulang ke kampung halamannya, karena kabur dari majikannya setelah 8 bulan ia bekerja sebagai baby sitter tiga anak yang menurutnya nakal-nakal.

Geli juga sebenarnya aku mendengar dia mengeluh tentang anak-anak itu, aku teringat Janah kecilku adalah anak yang sangat aktif dan reaktif. Pernah satu saat di depan rumah kontrakan kami, Janah kecil sedang bermain sendiri. Waktu itu dia berumur sekita 4-5 bulan, belum bisa berjalan. Tapi sudah bisa menjebol penjagaan ibunya menuju pintu halaman depan yang berpintukan pagar bambu. Waktu itu ada anak tetangga sebayanya dating menghampiri dari luar pagar dengan menjulurkan jari tangan kanannya, sungguh diluar dugaan reksi Janah kecilku ini. Dia gigit tangan anak tetangga itu sampai susah sekali dilepaskan padahal anak itu sudah menjerit kesakitan dan tetangga sudah kumpul membujuk Janahku, duh… Janahku, wanita yang tegar dan segar, walau dalam hitungan kedewasaan masih sangat muda.

Dia terlahir dengan nama Maula Choeriyatul Jannah. Sempat kupanggil dengan nama panggilan singkat Ula. Tapi belakangan panggilan itu sama dengan nama binatang melata dalam bahasa Jawa yaitu ular, maka kuberanikan dengan panggilan yang lain yang menurutku lebih indah didengar yaitu Janah. 17 tahun yang lalu, di bulan April tepat jam 14.00 tanggal 1, di sudut desa yang disebut Ngandagan di Purworejo.

Kini dia sedang mengupayakn buat dirinya sendiri bagaimana bisa kembali bertemu denganku bapaknya, dan adik-adiknya yang empat orang itu. Ufss.. juga dengan ibunya yang kadang selalu jadi oposisi dalam segala keputusannnya.

Sebenarnya dia tidak sendirian, dia bersama neneknya disana. Sama-sama punya watak yang sama, nasib yang sama(setidaknya untuk sekarang ini), hanya umur saja yang berbeda. Sama-sama kabur dari majikannya, dengan ketidak sabarannya menghadapi anak-anak yang katanya nakal. Sampailah kepada penantian yang tak berujung yaitu menunggu kapan Tuhan berbaik hati memulangkan mereka ke kampung halamannya. Ya .. neneknya janah itu adalah ibuku, yang punya watak sama dengan anak dan cucunya. Tersungging sendiri aku teringat semuanya, bukan tertawa senang, ataupun lucu. Tapi sungginganku lebih kepada rasa anehku akan jalan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada ibu, anak dan cucu ini. Ibuku, aku dan Janah anakku yang kucintai. Entah siapa yang mesti disalahkan dalam hal ini, aku tak tahu. Aku hanya bisa memasrahkan segalanya kepada Tuhan dan mereka yang selalu kupantau kabar dan keberadaanya, karena kebetulan mereka kutitipkanditempat kenalan lamaku, yang dengannya ku bersyukur mereka ada ditempat yang kurasa aman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline