oleh: Dadan Wahyudin
[caption id="attachment_110416" align="alignleft" width="646" caption="Siswa yang tertawan Kolat, siap menerima sanksi/Foto Yon II"][/caption] Saat mengikuti kegiatan diksarmil Menwa, tahun 1994, ada satu sesi yang ditakuti oleh kawan-kawan, yakni sesi Survival. Survival adalah kegiatan bertahan hidup di alam terbuka. Hal ini amat berguna bagi petualang bila tersesat atau kehabisan bekal. Caranya memanfaatkan alam yang ada untuk dimanfaatkan sebagai sumber makanan untuk menopang hidup hingga tim SAR datang. Saat itu ada 150 kawan-kawan dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat. Beruntung tempat latihan di Kesatrian Dodik Rindam III/Siliwangi di Cikole. Tempat ini bukanlah tempat asing bagi saya. Saya berasal dari Subang dan sekolah di Bandung, daerah Cikole acapkali kelewatan manakala mudik ke kampung halaman. Hari itu di Minggu keempat setelah puas dengan materi kelas yang menjemukan, kami diberi materi Latihan Berganda (Latganda) terdiri dari: long march, How to Finda (HTF), Caraka Malam, Taktik Perang Anti Gerilya (TPRAG), termasuk Survival. Lokasi Survival yang dipilih yakni Gn. Karamat, terletak sebelah kiri Tanjakan Emen dari arah Subang ke Bandung. Hari Jum'at siang kami diberi ransum terakhir untuk selanjutnya masuk daerah kami (demarkasi) yakni Gn.Karamat. Disepakati sebelumnya bahwa survivel berlangsung selama 5 hari, dan hari Rabu siang jam 14.00 seluruh peserta harus sudah kumpul lagi. Kemudian aliran sungai memisahkan gunung dan kebun teh sebagai tapal batas demarkasi masing-masing. Kami di gunung dan senior juga gumil di bedeng perumahan pemetik teh. Bila kami menyebrang sungai maka berhak ditangkap. Kalau ketangkap akan dihukum, yakni ditelanjangi (kecuali celana dalam) dan direndam di kolam yang dingin. Woooww... Guru militer dan senior berujar, "kalo kalian tertangkap, kalian dianggap tawanan dan mati....". Sesuai skenario, survivel bisa saja terjadi manakala pasukan dikepung musuh sehingga logistik terputus. Seluruh bekal termasuk informasi terputus. Kalau tidak bisa bertahan hidup dengan kondisi apa adanya, kondisi tubuh bakal loyo dan tewasss. Oleh karena itu, anggota sebagai orang hidup biasa berpetualang di hutan rimba mendapat materi ini.. Untuk itu diperlukan taktik merembes, yakni keluar dari daerah dikepung untuk menghubungi pasukan kawan, sembari membawa dukungan logistik untuk kawan di atas gunung. Ntah semangat dari mana, melihat kawan-kawan mulai dilanda rasa lapar, mulai mencari makanan dengan mencari pucuk daun paku dan batang pisang, saya memberanikan diri. Saya orang Subang, sedikitnya tahu seluk-beluk dan arah pergi-pulang wilayah ini. Saya bergegas dengan Adao, kawan dari STKS berasal dari Timor Timur (dulu masih gabung RI) melewati punggungan gunung dan merayap kebun teh berhasil sampai di tepi jalan raya. Pikirku ke Jalancagak atau Ciater, lokasi terdekat. Saya masih punya uang tersisa disembunyikan dilipatan baju, lumayan buat mengenyangkan perut. Selebihnya minta ke penduduk setempat alakadarnya baik beras, mie atau ikan asin kalo ada buat kawan-kawan. Kebetulan ada mobil bak, kami pun bergegas naik dan merebahkan diri, woow takut ketahuan senior atau instruktur. Ada dua penumpang mobil di atas bak dan membawa sekantung keresek dukuh. Saya dan kawan diberinya. Ya, Alloh.... Betapa nikmat. Selama sebulan dikarantina di Dodik dengan ransum diatur ketat, makan cuma nasi, tempe, nasi tahu, seminggu sekali ada sepotong kecil daging ayam tanpa kue atau buah, hem ... kali ini bisa menikmati makanan istimewa. Terima kasih Mang, ucapku. Tiba di kampung Ciater, saya turun langsung menghilang, yang dicari tidak ada lain kecuali, warung. Pikirku, kalau sampai tertangkap, aku tidak penasaran, sudah makan kenyang!!! Dengan uang Rp. 1.000 (1994) saya pesen nasi, minta nasi yang banyak. Tukang nasi kelihatan gemetaran melihat wajah seremku, mirip gerombolan. Saya orangnya baik hehe...Agar tidak merugikan pemilik warung, saya hanya mengambil sepotong tempe. Hemhh lahap. Beres makan, saya bergegas menemui saudara kawan saya di Ciater. Ia juga tampak ketakutan. Maklum kami mirip gerombolan turun gunung. Saya kenalkan bahwa saya kawan A, dan kini sedang latihan. Kalau ada natura, boleh buat kawan di atas gunung. Kami pun diberi sekilo beras, 2 mie dan ikan asin. Hemmh cukup buat kawan-kawan ... Hemhh.. aku bingung kembali ke lokasi Gn Karamat, bukan apa tak punya uang untuk naik elf atau bus. Kalo jalan cukup jauh. Kedua, terlalu lama berdiri di tepi jalan, bisa berabe, ditangkap senior. Untunglah ada bus mini milik Seskoau - TNI AU meluncur ke Lembang. Mungkin ada beberapa petinggi yang habis berwisata di Ciater, aku dan kawan naik segera dan minta turun sebelum tanjakan Emen. Para penumpang tertawa kecil manakala kami minta turun di daerah kebun teh yang sepi ... Kami pun naik lagi menelusuri aliran sungai pegunungan yang lebat dan sepi. Saya tidak membayangkan kalau Adao, orang asli Timtim tertinggal, pasti ia mudah ditangkap senior atau malah diantarkan polisi karena tersesat hehe.... Dan segera setelah tiba di Gn Karamat, seraya mengacungkan sekantung natura dan saya berkata bangga bak mirip pahlawan menang perang: "Nih, kalau mau makan, ini yang bergizi. Buanglah bonggol pisang itu ..." Kawan-kawan kegirangan menyambut. Beras dan mie itu dimasak cukup untuk bekal 3 hari reguku. Regu yang lain, saya kira mereka telah menerapkan ilmu survival secara baik. Haha..*** Gn Karamat, 1994
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H