[caption id="attachment_168163" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Meski kalah 1-2 dari Brazil di laga perdana Piala Dunia Afsel 2010, saya merasa bangga terhadap tim Korea Utara, mungkin juga sebagian besar penonton yang menyaksikan laga Brazil-Korut, meski dalam hati kecil tetap mengidolakan Brazil sebagai sang jawara. Kebanggaan atas Korut ini melengkapi prestasi luar biasa sebelumnya diraih saudaranya Korea Selatan yang secara fantastis menekuk Juara Eropa 2004, Yunani 2-0. Begitu juga Jepang menundukan Singa Afrika Kamerun 1-0 telah mengangkat harkat dan martabat bangsanya sendiri juga bangsa Asia. Asia yang dulu hanya dipandang sebatas partisipator (pelengkap), kini mulai diperhitungkan. Melawan Brazil, umumnya nyali bertanding mendadak ciut. Brazil adalah Juara Dunia lima kali memiliki wibawa dan aura tersendiri. Nama besar Brazil dan segudang pemain merumput di kompetisi bergengsi Eropah membuat Brazil bak the dream tim. Sementara Korea Utara adalah negara diisolasi. Negeri yang tak pernah masuk Piala Dunia sejak tahun 1966. Tanpa sentuhan atau pengaruh banyak polesan dari luar. Korea Utara lebih mengandalkan potensi dimilikinya sendiri. Ternyata semangat, motivasi dan harga dirinya mampu membangkitkan daya juang luar biasa dalam mengimbangi teknik dan kemampuan individual pemain Brasil yang di atas rata-rata. Meski kalah, tapi tak menyurutkan untuk angkat topi atas perjuangan menjaga martabat dan harga diri. Korea Utara berada di grup maut bersama Pantai Gading dan Portugal. Meski diprediksi menempati posisi paling buncit, tapi semangat pantang menyerah ditunjukkan menjadi contoh yang patut ditiru. Bangsa Asia Timur dikenal sebagai bangsa penuh disiplin. Termasuk dalam wilayah ini, Korea Selatan, Jepang, Cina, dan Taiwan. Meski negrinya porak-poranda akibat perang Dunia II, Jepang maupun Korea mampu bangkit dari keterpurukan. Kemajuan yang dialami oleh negara di Asia Timur Jauh ini bukanlah datang begitu saja atau dengan sendirinya tetapi ada proses menuju kearah kemandirian dan pendewasaan sehingga bisa menjadi bangsa yang unggul dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Perekonomian Jepang, Cina atau Korea Selatan, misalnya pada empat dasawarsa yang lalu amatlah terpuruk. Bahkan Korea Selatan tidak jauh berbeda dengan Negara Afrika seperti Ghana yang memiliki pendapatan perkapita US$ 60, menggambarkan Korea Selatan hingga akhir 1950-an ibarat negara tanpa harapan. Perekonomian Korea Selatan waktu itu masih didominasi sektor pertanian tradisional, miskin, nyaris tanpa sumber daya alam (SDA) dan inflasi tinggi. Empat dasawarsa kemudian, Korea Selatan mulai bangkit dan sekarang perbedaan antara Korea Selatan dengan Ghana laksana bumi dengan langit. Korea Selatan berhasil keluar dari kemiskinan dan keterpurukan menjadi raksasa industri dan peringkat ke-11 ekonomi dunia, memiliki banyak perusahaan multinasional, eksportir otomotif, elektronik dll. Bagi Korea Utara, akibat revolusi dan sistem ketat komunisme, memang negara ini tertinggal. Tetapi memiliki jati diri dan martabat dimana tidak bisa ditekan oleh negara adi daya sekalipun. Korea Utara memiliki harga diri tidak mudah digadaikan hanya oleh sedikit rayuan atau bujukan, di tengah embargo dan isolasi negeri ini tetap tegar. Bila mulai membuka diri, rasanya negeri ini bakal secepat jet menyusul saudara kembarnya Korea Selatan. Dan bangsa Asia Timur kini memimpin bangsa Asia dalam hal penguasaan teknologi, sumber daya manusia dan kesejahteraan penduduknya. Bahkan beberapa tahun ke depan, diprediksi bakal memimpin sebagai raksasa ekonomi dunia dan menjadi satu kiblat dunia berpengaruh. (**) Salam, Dadan Wahyudin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H