Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Pramuniaga dengan Multipassion

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak pernah belanja di Alfamart? Atau setidaknya membeli sesuatu, Mi Instan misalnya. Saya sendiri sering membeli rokok dan kebutuhan kecil lainnya di Alfamart ataupun Indomart. Saya yakin Bu Menteri Susi pun pernah sesekali membeli rokok kesukaannya di dua raksasa ritel tersebut.

Ya, dua peritel kapitalis itu telah menjelma menjadi raksasa-raksasa kecil yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok kampung di Indonesia. Dalam istilah industri retail, dua nama toko itu termasuk kategori Chain Store dimana ciri-cirinya adalah memiliki banyak jaringan gerai tapi dimiliki oleh perusahaan yang sama.

Memang, dua nama besar itu berkonsep waralaba dimana siapapun anda bisa memiliki usaha tersebut berdasarkan perjanjian tertentu dan menggunakan merk dagang tertentu dengan strategi, format bisnis, sistem kerja yang diatur oleh pemilik perusahaan (franchisor) dan disetujui oleh penerima waralaba (franchisee), kurang lebih begitu.

Tapi tetap saja, hanya orang yang memiliki modal yang cukuplah yang mampu mengajukan diri untuk membuka usaha waralaba dua toko diatas. Maksud cukup disini yaitu cukup untuk membuka toko Alfamart maupun Indomaret yang nilainya ratusan juta rupiah itu.

Tak perlu membahas tentang bagaimana dua toko ini dijalankan dengan manajemen yang solid dan kuat, sumber daya manusia yang mumpuni atau kualitas barang yang mereka jual. Ketiga hal itu saya kira sudah tak perlu diperdebatkan lagi karena mereka pasti memiliki itu semua, jadi tidak ada hal yang menarik untuk dibahas disitu.

Karena latar belakang saya adalah seorang Salesman, mari sedikit kita kupas sisi-sisi lain yang ada di dua toko ini, berdasarkan perspektif saya tentunya.

Perhatikan saja bagaimana mereka begitu disiplinnya menawarkan berbagai barang yang tidak kita beli sesaat setelah kita sampai di meja kasir. Jika pembelinya laki-laki tawaran yang paling sering adalah rokok, korek atau pulsa bahkan tawaran tarik uang tunai dari salahsatu Bank. Belum lagi jika ada program dari principle/supplier merk tertentu, misalnya minuman berupa beli 1 gratis 1, atau program-program promo lainnya. Meskipun tak ada fee atau insentif khusus untuk mereka dengan menawarkan barang-barang itu.

Mereka bukan pramuniaga biasa, dan meskipun rata-rata pendidikan mereka adalah SMU, tapi kedisiplinan dapat menumbuhkan sikap profesionalisme bahwa tugas dan tanggungjawab mereka bukan hanya sekedar sebagai penjaga toko.

Dari mulai pintu masuk, kita sudah mendapatkan welcome greeting yang ramah layaknya yang sering kita jumpai di hotel-hotel berbintang, jadilah mereka Bellboy. Disaat konsumen kesulitan atau bingung memilih-milih barang yang diinginkan, mereka dengan senang hati membantu dan memberikan masukan tentang produk, jadilah mereka Marketing Support atau Product Consultant bahkan layaknya Product Specialist. Disaat kita sudah merasa cukup dengan belanjaan kita, mereka tak lupa menawarkan barang yang tidak kita beli, tidak beli yang ini ditawarkan yang itu, tidak beli yang itu ditawarkan yang ini, jadilah mereka Salesman. Jadilah mereka Pramuniaga dengan multi passion.

Tak bisa dipungkiri bahwa dua peritel raksasa ini sangat tahu bagaimana memperlakukan konsumennya dengan baik dengan menanamkan sikap-sikap profesionalisme kepada para pramuniaga itu. Membuat konsumen merasa diperlakukan istimewa, dilayani dan diberi ucapan yang melegakan hati, terima kasih… Meskipun dibalik berbagai kenyamanan itu, warung-warung kecil, kios-kios kelontong di sekitarnya harus berjuang setengah mati untuk bertahan dari gempuran mereka yang menjamur dimana-mana, ah… dasar kapitalis.

Saya jadi teringat dengan sahabat saya di suatu tempat di Kalimantan yang mulai merintis untuk membuka toko berbagai macam kebutuhan di sekitar perumahan tempat tinggalnya. Walaupun mungkin belanja di tokonya tidak bisa senyaman di Alfamart ataupun Indomaret, setidaknya hal yang tak bisa dilakukan oleh mereka adalah pelanggan bisa belanja sambil ngerumpi dan bisa nge-bon pula… karena seperti yang pernah dikatakan oleh James Gwee, “Selling is mostly a person to person activity”

Kalau terjemahan bebas versi saya, Jual beli adalah kegiatan yang menambah sillaturrahmi, maka perpanjanglah sillaturrahmi karena itu dapat menambah rejeki, hehehe…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline