Tuhan menciptakan manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk saling berpasangan, kemudian melakukan pernikahan yang akhirnya mempunyai keturunan sampai adanya istilah kakek, nenek, ayah, ibu, anak, cucu, buyut dan seterusnya. Yang diharapkan mereka yang telah menikah dan mempunyai keturunan utuh sebagai keluarga besar tanpa terpisah oleh yang namanya perceraian pasca memiliki keturunan tersebut meski kenyataan yang terjadi tidak seperti itu.
Kita dapat melihat sejumlah pasangan hidup pasca pernikahan menunjukkan kemesraan dalam setiap situasi seolah-olah harmonis kehidupannya. Mereka tersenyum, berpelukan, mengucapkan kata-kata sayang kepada pasangannya. Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah di antara pasangan hidup yang kelihatan mesra tersebut mengajukan gugatan cerai apakah dari sang perempuan atau sang lelakinya. Sampai akhirnya bercerai juga. Alasan cerai yang mengemuka adalah dominan "sudah tidak cocok lagi diantara keduanya". Kehadiran anak kadang tidak menjadi faktor perekat keutuhan rumah tangga, tetap memilih berpisah.
Padahal sebelum berumahtangga ketika masing-masing masih sendiri, kemudian menjalin komunikasi dengan memahami perbedaan karakter dan menjadikannya sebagai kekuatan membangun kebersamaan sampai bersepakat melangsungkan pernikahan hingga mempunyai keturunan tetapi berpisah untuk sendiri lagi yang berarti perbedaan karakter itu sudah menjadi penghambat. Ini siklus negatif kalau boleh disebut demikian.
Memang perceraian sebuah pasangan rumahtangga bukan akhir segalanya, mungkin saja itu awal untuk kesuksesan untuk suaminya, untuk istrinya dan untuk anaknya. Beberapa orang sudah ada yang mengalami kesuksesan tersebut. Ada istilah gagal dalam rumahtangga tidak berarti gagal semuanya.
Misalnya ada orang begitu piawai memberi nasihat kepada masyarakat via lawakan konyolnya, ada juga orang cerdas memberikan komen terkait dengan urusan keluarga. Padahal yang bersangkutan adalah pasca bercerai alias tidak mampu mempertahankan biduk rumahtangganya.
Catatan penting yang ingin dipaparkan bahwa pertama,segala sesuatu yang dilakukan seseorang baik indahnya ucapan maupun penampilan yang kasat mata belum tentu berbanding lurus dengan hati nuraninya. Kedua, pendapat merasa benar sendiri dengan tidak mau mengalah menjadi malapetaka bagi siapapun dalam kehidupannya. Ketiga, keutuhan sebuah kelompok (rumahtangga atau keluarga) terjadi jika ada kesamaan tujuan dengan menghormati ragam perbedaan.
Kalau menggunakan kacamata agama, bahwa setiap orang perlu menyelaraskan antara ucap, sikap, dan tindak dengan mengikuti hati nurani yang sebenarnya. Jadi tidak ada kepura-puraan, apa yang dilakukan apa adanya. Kemudian diperkuat dengan sikap tepo saliro, sikap empati dan simpati apalagi dengan pasangan sah sehingga apapun munculnya perbedaan akan teratasi tanpa harus menjadi sendiri lagi.
Dengan kata lain, tidak cukup terpesona dengan sosok seseorang yang tampil piawai di layar kaca karena bisa jadi itu hanya sekedar sandiwara atau akting semata yang kadang antagonis dengan hati nuraninya jika dibelakang layar. Seperti ungkapan mengatakan "dalamnya laut bisa diduga dalamnya hati siapa tahu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H