Akhir-akhir ini dunia maya sedang dihebohkan dengan keluarnya surat pers rilis Komnas PA tentang penghentian penggunaan kata ‘anjay’. Sebutan ‘anjay’ merupakan bahasa gaul muda-mudi yang dianggap padanan kata ‘anjing’. Sebuah ungkapan yang dianggap merendahkan martabat dan kedudukan seseorang.
Komnas PA berpandangan kalimat anjay memiliki konotasi buruk yang mengandung unsur kekerasan verbal atau bullying yang dapat dipidana. Dalam siaran pers rilis tersebut juga dijelaskan jika ungkapan ‘anjay’ itu digunakan untuk menunjukkan kekaguman terhadap sesuatu maka hal itu tidak menimbulkan masalah.
Polemik istilah anjay sampai menyita perhatian para pakar bahasa. Ahli bahasa dan semiotika Insitut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi beranggapan kata 'anjay' merupakan diksi yang muncul dalam pergaulan kekinian. Kemudian menjadi multitafsir karena pemaknaan setiap orang yang berbeda akibat latar belakang pengetahuan masing-masing.
Menurutnya istilah ini muncul di pergaulan kelas bawah yang saat ini juga banyak digunakan kelas menengah atas. Saidi juga berpendapat tidak relevan jika kata anjay dalam konteks apapun ditarik ke ranah pidana. Bagaimana juga dengan diksi kata yang lain seperti monyet, babi dan sebagainya, ujarnya.
Kepala Bidang Pengembangan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dora Amalia menjelaskan aspek penggunaan kata dari sisi bentuk dan penggunaan.
Berdasarkan bentuk kata anjay merupakan bentuk kreatif dari kata anjing. Dilihat dari sisi penggunaan, kata anjay bisa juga digunakan sebagai sebuah ungkapan kekaguman karena melihat sesuatu yang menakjubkan. Bisa juga digunakan sebagai penghalusan umpatan atau bisa juga ungkapan bentuk keakraban dalam pergaulan.
Fenomena diksi anjay
Kenapa bisa seheboh itu tanggapan publik dunia maya? Berawal dari laporan seorang Lutfi Agizal ke Komnas PA berujung lahirnya pelarangan penggunaan kata anjay dalam konteks merendahkan atau melecehkan.
Bisa jadi netizen beranggapan Komnas PA terlalu berlebihan mempermasalahkan sesuatu yang sudah menjadi bahasa sehari-hari mereka dalam pergaulan. Bahkan memberikan ancaman pidana bagi mereka yang kedapatan menggunakan kata anjay untuk merendahkan seseorang. Publik berharap masih banyak masalah perlindungan anak yang jauh lebih mendasar ketimbang mempermasalahkan kata anjay.
Tidak dipungkiri sebagian besar penduduk Indonesia merupakan generasi muda. Bahkan tidak lama lagi dunia, termasuk Indonesia akan mengalami bonus demografi di mana jumlah penduduk muda lebih tinggi dari usia penduduk lansia dan anak-anak.
Karakter mereka yang selalu beradaptasi terhadap setiap perubahan yang ada. Termasuk dalam bahasa pergaulan mereka. Istilah-istilah baru dalam bahasa pergaulan mereka berkembang pesat dan menyebar dengan cepat. Apalagi di era digital di mana penyebaran informasi begitu mudah didapat dan mudah disebar hanya dengan menggerakkan jari-jemarinya.