Lihat ke Halaman Asli

Kenyataan, Khayalan, Mimpi

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku takut, aku bingung, aku sesak, aku tak bisa menyadari apa yang ada di sekitar ku, aku seolah mati rasa, entah apa yang ku rasa, Tuhan aku takut, takut, takut, semakin takut, aku berjalan sampai tak sadar ternyata aku berlari menjauhi kenyataan, aku lelah nafasku tersenggal setelah aku sadardari perjalanan melawan kenyataanan. Tuhan apa yang sebenarnya terjadi, apa aku terlihat selalu mengkambinghitamkan nama mu setiap terasa tak mampu mengerti kenyataan yang ku sadari, tetapi pada siapa lagi aku harus mengadu dan menceritakan yang terjadi di diri ku, dunia ini sesak, padat terisi dan semakin meluap, tetapi aku tidak pernah menyadari kalau ternyata dunia ini sudah padat, aku terus berlari menghindari kenyataan dan hidup dialam mimpi yang panjang, yang seharusnya indah, tetapi malah menyeramkan sampai membuat aku sesak nafas dan hampir tidak bisa bernafas dihujani entah keburukan entah anugrah, karna aku lupa berdoa sebelum tidur. Aku kalap, aku gelap, aku pekat, semakin menjahui kenyataankarna terbuai keindahan mimpi yang bisa ku ingat dan ku paksakan untuk mengingat. Dunia ini sudah sesak meluap, tetapi siapa yang mau mendengarkan semua keluh kesah ini, semua sibuk, semua sibuk, semakin sibuk, sampai terasa tidak mengenal satu sama lain, bahkan tidak mengenali dirinya sendiri, kepada siapa lagi aku harus bercerita, aku harap di luar pelanet ini ada mahluk asing yang bisa mengerti ketakutan ku, hanya dengan cara mendengarkan detak jantung ku, ketika aku merasa dipeluk ketakutan bak kopi hitan yang terlalu hitam pekat.

Jarum angka berputar, tidak terasa matahari muncul perlahan menyinari pagi yang masih terasa pekat di hati, detak jarum bergerak memutar seiring perasaan yang hanya berputar tidak bisa keluar dari beberapa kemungkinan yang terbentuk dari pergulatan pemikiran. Tersudut di sebuah ruangan yang semakin terang, melamun malas terlihat tanpa harapan, rokok ku luluhkan dengan api, kompor ku hidupkan, memasak air untuk membuat minuman, kembali hanya seonggok tubuh tersudut di suatu ruangan menunggu masak air yang tadi ku masak, melamun tanpa harapan tidak sadar pikiran ku bergelut dalam sebuah pertarungan yang panjang tanpa ada jalan keluar. Cahaya mentari semakin meninggi aku belum bisa tertidur, aku menghela nafas mencoba menyadarkan diri sendiri agar kembali ke kenyataan, terdengar suara berisik air yang sudah masak memanggil ku untuk segera bergerak mematikannya, tubuh ku lelah, lelah, dan sangat malas beranjak untuk mematikan kompor, dengan segala kemalasan yang mendekap tubuh ku aku mencoba bangkit berjalan ke dapur mematikan kompor dan kembali pikiran ku di sugguhi dengan dua pilihan, kopi atau susu? Terdiam menghela nafas, termenung seperti keledai dungu, dalam hati aku beucap, “Tuhan aku harus memilih yang mana, aku takut, takut, takut, rasa-rasanya aku tidak bisa menentukan pilihan,” sejenak aku merasa aku tak mengenali diri ku sendri, tubuh ini hanya terasa seperti seonggok tubuh tanpa mempunyai pikiran, dengan kekalapan aku meraih gelas dan memilih membuat susu untuk menemani rokokku, dengan semangat aku melangkah menuju sebuah sudut yang tadi aku tempati, rokok kembali ku luluhkan dengan api, ku hisap dengan kecepan kereta sampai terasa jenuh menghisap asap-asap yang terlihat bebas tanpa harus menentukan kemana arah melayang. Aku lemas, pucat, dan perasan takut ku makin menjadi, sinar mentari yang masuk dari fentilasi sudut itu terasa mempercepat pertumbuhan ketakutan ku, aku semakin takut, pikiran ku berkelana teramat jauh untuk menentukan sebuah pilihan membuat ketakutan ku semakin pekat. Berkali-kali ku sumpal telinga ini dengan lagu dengan harapan semoga pikiran ini tenang, 1, 2, 3, 4, sampai tak tau berapa kali ku putar sebuah lagu. Aku lelah,mata ku memerah, tanpa sadar jarum jam menunjukan pukul 9 pagi, smua ini mungkin memang terdengar terlalu didramatisir, tapi apa iya ini didramatis, aku rasa apa pun anggapan mereka, itu hanya sebuah pendapat yang tidak bisa dibenarkan dan disalahkan, tetapi memang ini kenyataan yang sedang ku alami dan ku rasakan.

aku bergerak menuju kamar tidur ku, merebahkan tubuh ku yang lelah, mencoba memejamkan mata berkali-kali,tetapi mata ini enggan tertutup, sampai tidak sadar aku akhirnya terlelap. Di mimpi pun aku masih bertemu. ahh.... dia lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline